Menjadi ayah yang hadir utuh untuk anak

1 hour ago 1
Seorang ayah harus selalu masuk ke dalam gelembung jiwa anak, bukan sebaliknya, menyeret anak untuk masuk ke jiwa dewasa

Bondowoso (ANTARA) - Memperingati Hari Ayah Nasional, setiap 12 November, menarik untuk mengoreksi peran ayah dalam kehidupan keluarga, terutama yang masih terikat kuat dengan budaya tertentu.

Dalam kebiasaan masyarakat yang sangat menjunjung tinggi budaya patriarki, seorang ayah seringkali diposisikan sebagai "raja", sehingga untuk urusan anak hanya menjadi tanggung jawab ibu. Karena itu, jika urusan tersebut ditangani ayah akan dinilai sebagai "pantangan".

Bahkan, dalam budaya patriarki yang sangat kuat itu, ketika seseorang ayah terlihat menyuapi anaknya saat makan, "harga diri" si ayah dinilai rendah. Apalagi jika dilihat sedang menceboki anaknya, "harga diri" si ayah tambah runtuh. Si ayah itu akan masuk dalam kategori sebagai yang "tidak pantas" disebut lelaki.

Fenomena tentang "harga diri" ayah di lingkungan budaya patriarki menyebabkan seorang ayah sangat berjarak dengan anak-anaknya. Ayah tidak hadir sepenuhnya untuk membersamai anak bertumbuh, bukan hanya fisik, tapi juga jiwanya.

Isu yang sempat ramai mengenai absennya ayah dalam kehidupan keluarga atau fatherless, membuka kesadaran bagi semua ayah untuk bersegera kembali ke peran asasinya, hadir secara utuh bagi anak-anaknya.

Ketidakhadiran ayah dalam keluarga bukan sekadar karena ayah yang tidak ada, seperti meninggal dunia, atau karena tempat tinggal dan bekerja ayah yang terpisah dengan keluarga. Ketidakhadiran ayah juga karena sang kepala keluarga terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan, sehingga waktu bertemu dengan anak sangat terbatas.

Ketika sedang berada di rumah pun, ayah tidak menyediakan waktu untuk anak karena alasan lelah dan beristirahat.

Padahal, seorang ayah bukan hanya bertanggung jawab untuk memenuhi nafkah bagi keluarga. Ayah juga harus menyediakan fisik dan jiwanya untuk anak. Pelukan, belaian pada kepala, atau ciuman ayah bagi anak merupakan ritual yang bernilai emas bagi seorang anak.

Pelukan ayah, belaian ayah, atau ciuman ayah pada kening atau pipi anak menjadi modal besar untuk membangun rasa percaya diri dan menumbuhkan kecerdasan emosional anak. Kehadiran ayah secara fisik, sekaligus psikis itu, akan membantu anak dalam menguatkan nilai moral.

Menurut Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Dr Rahmat Hidayat PhD, fenomena ketidakhadiran peran ayah tidak hanya dimaknai secara fisik, namun juga secara emosional. Absennya sosok ayah dalam keluarga berdampak pada perkembangan anak, terutama pada aspek psikologis, hingga aspek sosial.

Rahmat mengatakan, terdapat tiga proses utama pembelajaran dalam perjalanan tumbuh kembang seorang anak, yaitu observasional, behavioral dan kognitif. Ketiganya membutuhkan hadirnya sosok ayah yang berperan sebagai contoh dalam mendukung perkembangan emosional anak.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |