Jakarta (ANTARA) - Masyarakat dan dunia pendidikan dalam beberapa waktu belakangan dihebohkan oleh beberapa gebrakan kebijakan pendidikan. Gebrakan terkait dengan pembangunan karakter anak tersebut bukan berasal dari kementerian yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah, tetapi dari figur publik dan pejabat tertinggi di daerah.
Adalah Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi atau yang lebih dikenal sebagai KDM (Kang Dedi Mulyadi) yang mengambil langkah kontroversial tersebut.
Gubernur yang pernah disebut sebagai “gubernur konten” oleh rekan sejawatnya tersebut mengunggah pernyataan terkait kebijakan itu dalam akun pribadinya.
Tak ayal, pernyataan tersebut kemudian menjadi viral dan menimbulkan pro dan kontra di antara pemangku kepentingan termasuk akademisi maupun praktisi, serta pihak orang tua yang secara tidak langsung menjadi target kebijakan.
Tentu saja, secara formal, KDM juga mengeluarkan surat edaran sehingga pernyataan tersebut harus ditindaklanjuti dalam proses implementasi.
Surat Edaran Nomor 43/PK.03.04/Kesra tentang 9 Langkah Pembangunan Pendidikan Jawa Barat Menuju Terwujudnya Gapura Panca Waluya tersebut difokuskan untuk membangun karakter peserta didik pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, serta pendidikan menengah di wilayah Provinsi Jawa Barat.
Hasil akhir yang diharapkan menuju terwujudnya Gapura Panca Waluya, yakni peserta didik yang Cageur, Bageur, Bener, Pinter, tur Singer.
Surat edaran tersebut menyebutkan secara eksplisit sembilan langkah yang harus dilakukan.
Pertama, peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, serta tersedianya toilet peserta didik di dalam kelas, untuk menunjang aktivitas dan proses belajar, sehingga terwujud lingkungan pendidikan yang baik bagi tumbuhnya Generasi Panca Waluya.
Kedua, peningkatan mutu dan kualitas guru yang adaptif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, serta memahami arah dan tujuan pendidikan secara paripurna, yaitu terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya.
Baca juga: Mendikdasmen enggan tanggapi wacana bina siswa nakal di barak TNI
Ketiga, sekolah dilarang membuat kegiatan piknik yang dibungkus dengan kegiatan study tour, yang memiliki dampak pada penambahan beban orang tua. Kegiatan tersebut bisa diganti dengan berbagai kegiatan berbasis inovasi, seperti mengelola sampah secara mandiri di lingkungan sekolah, mengembangkan sistem pertanian organik, aktivitas peternakan, perikanan dan kelautan, serta meningkatkan wawasan dunia usaha dan industri.
Keempat, sekolah dilarang membuat kegiatan wisuda pada seluruh jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan usia dini, pendidikan dasar, sampai dengan pendidikan menengah. Kegiatan tersebut hanya seremonial yang tidak memiliki makna akademik bagi perkembangan pendidikan di Indonesia.
Kelima, untuk menyongsong pemberlakuan program Makan Bergizi Gratis (MBG) secara merata, mulai saat ini setiap peserta didik diharapkan dapat membawa bekal makanan ke sekolah, mengurangi uang jajan, serta mendorong peserta didik untuk menabung sebagai bekal dan lahan investasi di masa depan.
Keenam, peserta didik yang belum cukup umur dilarang menggunakan kendaraan bermotor, serta mengoptimalkan penggunaan angkutan umum, atau berjalan kaki dengan jangkauan sesuai dengan kemampuan fisik peserta didik. Untuk peserta didik di daerah terpencil, diberikan toleransi sebagai upaya untuk memudahkan daya jangkau peserta didik dari rumah menuju ke sekolah.
Ketujuh, untuk meningkatkan disiplin, serta rasa bangga sebagai warga negara yang mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia, setiap peserta didik harus memahami wawasan kebangsaan, dengan mengembangkan kegiatan ekstrakurikuler seperti Pramuka, Paskibra, Palang Merah Remaja, dan kegiatan lainnya yang memiliki implikasi positif pada pembentukan karakter kebangsaan peserta didik.
Kedelapan, bagi peserta didik yang memiliki perilaku khusus, yang sering terlibat tawuran, main game, merokok, mabuk, balapan motor, menggunakan knalpot brong dan perilaku tidak terpuji lainnya, akan dilakukan pembinaan khusus, setelah mendapatkan persetujuan dari orang tua, melalui pola kerja sama antara Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan Jajaran TNI dan Polri.
Kesembilan, peningkatan pendidikan moralitas dan spiritualitas melalui pendekatan pendidikan agama, sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Baca juga: Wajib Militer Demul dinilai berseberangan dengan konsep pedagogi
Pembinaan di barak militer
Beberapa langkah dalam surat edaran dimaksud sesungguhnya telah sesuai arahan pemerintah melalui kementerian yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah. Yang menimbulkan kegaduhan publik adalah langkah kedelapan.
Langkah ini menyatakan, bagi anak-anak yang dikategorikan nakal akan dikirimkan ke barak militer untuk mendapatkan pembinaan khusus karakter. Surat edaran tersebut sudah cukup jelas memberikan makna “anak nakal” yaitu peserta didik yang memiliki perilaku khusus, sering terlibat tawuran, main game, merokok, mabuk, balapan motor, menggunakan knalpot brong dan perilaku tidak terpuji lainnya.
Pertanyaan pertama, apakah ada bukti akar permasalahan mengapa terjadi anak-anak nakal tersebut? Pertanyaan berikut, apakah sudah ada regulasi pemerintah pusat terkait pihak-pihak yang harus bertanggungjawab dalam pembangunan karakter di satuan pendidikan?
Apabila sudah ada, apakah pemerintah daerah sudah mengikuti peraturan tersebut? Apabila sudah diikuti dan ternyata gagal, seharusnya pemerintah daerah yang bertanggungjawab. Artinya, sumber kegagalan berasal dari hulu yaitu ketidakmampuan pemerintah daerah menyelenggarakan proses pembelajaran pengembangan karakter di satuan pendidikan.
Terkait pembinaan khusus di barak militer, apakah tidak ada peraturan khusus dari pemerintah pusat? Ternyata peraturan tersebut tidak pernah dibuat pemerintah pusat. Artinya, kebijakan ini murni gagasan KDM.
Yang menarik, adanya klausul dalam surat edaran tersebut bahwa pembinaan khusus yang diikuti “anak nakal” dilakukan “setelah mendapatkan persetujuan dari orang tua”, melalui pola kerja sama antara Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan Jajaran TNI dan Polri.
Klausul ini jelas menghindari persepsi bahwa kebijakan pembinaan khusus di barak militer bukan semata-mata karena keinginan KDM sebagai pemimpin baru untuk membuat warisan. Ini juga menjawab bahwa orang tua tidak lepas tanggungjawab dalam pengasuhan anaknya.
Baca juga: Komnas HAM soal siswa bermasalah dididik TNI: Perlu ditinjau ulang
Menghindari kebijakan populis
Sebuah kekeliruan apabila kebijakan tertentu dibuat hanya untuk tujuan popularitas atau kebijakan populis bagi kepentingan individu atau kelompok tertentu. Kebijakan seyogianya menghindari penyalahgunaan kewenangan oleh pihak tertentu.
Artinya kebijakan harus jelas dasar hukumnya agar tidak menimbulkan keresahan dan kegaduhan di kalangan masyarakat.
Kebijakan pembinaan khusus bagi anak nakal di barak militer hendaknya tidak menjadi preseden munculnya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pendidikan.
Kebijakan tersebut hendaknya juga tidak dimaknai bahwa pemimpin daerah tidak patuh kepada pemerintah pusat lantaran ingin cepat menyelesaikan masalah di daerahnya.
Harus dipastikan bahwa kebijakan yang dibuat dapat memberikan keadilan dan kebermanfaatan bagi berbagai pihak.
Baca juga: Mensos: Perlu waktu cerna ide Dedi Mulyadi soal syarat terima bansos
*) Hendarman adalah Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikdasmen, Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan
Copyright © ANTARA 2025