Jakarta (ANTARA) - Perkawinan anak merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang mengancam kesejahteraan serta masa depan anak-anak. Praktik ini juga dikategorikan sebagai bentuk kekerasan terhadap anak karena menghambat perkembangan mereka secara fisik, emosional dan sosial.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, seseorang masih tergolong anak apabila berusia di bawah 18 tahun. Dengan demikian, pernikahan yang dilakukan sebelum usia tersebut termasuk dalam kategori perkawinan anak.
Berdasarkan data UNICEF, pada tahun 2018 terdapat sekitar 1,2 juta anak perempuan di Indonesia yang menikah sebelum usia 18 tahun. Sulawesi Barat tercatat sebagai provinsi dengan tingkat perkawinan anak tertinggi, mencapai 19,43 persen.
Sementara itu, Jawa Barat memiliki jumlah kasus terbanyak secara absolut, diperkirakan mencapai 273 ribu pernikahan anak dalam satu tahun.
Dampak buruk perkawinan anak
Perkawinan anak, terutama bagi anak perempuan, membawa berbagai konsekuensi negatif, baik dari segi kesehatan, pendidikan, ekonomi, maupun psikologis. Berikut adalah beberapa dampak buruk yang ditimbulkan:
Risiko kesehatan ibu
Anak perempuan yang hamil di usia 10 hingga 14 tahun memiliki risiko kematian lima kali lebih besar saat melahirkan dibandingkan perempuan yang lebih dewasa. Organ reproduksi mereka belum berkembang secara optimal, sehingga meningkatkan risiko komplikasi kehamilan. Menurut penelitian di Kanada dan Indonesia, usia yang ideal untuk kehamilan secara fisik adalah antara 20 hingga 35 tahun.
Komplikasi persalinan
Perempuan yang menikah dan hamil di usia dini lebih rentan mengalami berbagai komplikasi kesehatan, seperti fistula obstetri, infeksi, pendarahan hebat, anemia, dan eklampsia. Selain itu, bayi yang dilahirkan berisiko mengalami prematuritas dan stunting akibat kurangnya asupan gizi selama kehamilan. Risiko kematian bayi sebelum usia satu tahun juga meningkat dua kali lipat.
Putus sekolah dan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Banyak anak perempuan yang harus meninggalkan sekolah setelah menikah, sehingga membatasi peluang mereka untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Tingginya angka putus sekolah berdampak langsung pada rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di suatu daerah.
Terbatasnya kesempatan kerja
Dengan rendahnya tingkat pendidikan akibat putus sekolah, anak perempuan yang menikah dini memiliki peluang kerja yang lebih kecil. Mereka cenderung hanya berperan sebagai istri, ibu rumah tangga, atau pekerja informal dengan pendapatan rendah, sehingga sulit mencapai kemandirian finansial.
Masalah psikologis dan kekerasan dalam rumah tangga
Usia yang belum matang membuat pasangan yang menikah dini lebih rentan mengalami konflik rumah tangga. Ketidakdewasaan emosional sering kali berujung pada percekcokan yang berlarut-larut dan meningkatkan risiko kekerasan, baik secara fisik maupun verbal. Hal ini dapat berdampak buruk terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan keluarga.
Baca juga: KemenPPPA koordinasi pastikan dua remaja Lampung lanjutkan pendidikan
Baca juga: KemenPPPA-Pemprov Lampung berkoordinasi soal kasus perkawinan anak
Baca juga: Komnas sebut arsip kebutuhan penting untuk pengakuan peran perempuan
Pewarta: Allisa Luthfia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025