Menemukan hidup di balik karst Rammang-Rammang

5 hours ago 2
Dulu air bersih belum ada, listrik belum masuk. Setelah jadi tempat wisata, semua berubah. Sekarang setiap rumah punya perahu, bahkan ada yang tiga

Makassar (ANTARA) - Fardi (40) baru saja menepikan perahu motornya di dermaga kayu kawasan perbukitan karst Rammang-Rammang, Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Pria berambut gondrong berkaus merah marun itu sendirian menurunkan rombongan wisatawan yang baru ia antar menyusuri Sungai Pute, jalur utama menuju Kampung Berua.

Sepanjang tiga kilometer perjalanan dari dermaga menuju kampung itu, perahu motor meluncur perlahan di antara hijaunya hutan nipah.

Suara mesin menderu berpadu dengan riak air yang memantul di bawah cahaya siang. Di kiri kanan, jajaran bukit karst menjulang, menciptakan pemandangan yang seolah memagari sungai.

Bayangan pepohonan tampak bergeser di permukaan air yang tenang, memberi kesan teduh di antara gagahnya "menara-menara" karst Rammang-Rammang.

Sejak 2020, menarik perahu menjadi bagian dari rutinitas Fardi, di sela bekerja sebagai petani padi dan pencari ikan saat malam hari.

Setiap pagi ayah tiga anak itu berangkat dari rumahnya di Kampung Massaloeng, sekitar dua puluh menit perjalanan sungai menuju dermaga.

Ia biasa tiba sebelum pukul enam, setelah mengantar anaknya ke sekolah, lalu memeriksa bensin dan kondisi mesin perahu sebelum menunggu wisatawan datang.

"Kalau pagi, saya biasa langsung ngecek bensin supaya aman di perjalanan," ucapnya.

Jika sama sekali tak ada wisatawan, ia memilih pulang selepas zuhur dan melanjutkan pekerjaan lain di sawah atau sungai.

Kendati bukan sumber penghasilan utama, bagi Fardi, mengantarkan wisatawan cukup menambah nafkah keluarganya. Dalam satu kali perjalanan, pendapatannya sekitar Rp60 ribu setelah dikurangi biaya bensin dan iuran dermaga.

Menurut dia, musim kunjungan wisatawan menjadi waktu paling ditunggu. Bulan Oktober sampai akhir tahun biasanya dermaga ramai oleh wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.

"Yang penting ada untuk anak sekolah," ucapnya sembari mendekatkan ujung perahu ke dermaga.

Sebagaimana Fardi, Anas (29), warga Desa Salenrang, juga turut merasakan berkah dari geliat wisata di Rammang-Rammang.

Dua tahun terakhir, ia kembali ke kampung halamannya setelah sempat merantau ke Kalimantan untuk bekerja di perkebunan sawit.

"Dulu enggak ada pekerjaan di sini, jadi merantau ke Kalimantan," ujar Anas.

Namun setelah mendengar kawasan Rammang-Rammang ramai didatangi wisatawan, ia memutuskan pulang.

Kini, Anas menarik perahu wisata sambil tetap bekerja di tambak ikan dan udang milik warga setempat. Dalam sehari, ia mengaku bisa mendapat satu hingga dua kali perjalanan tergantung antrean penumpang.

Sebagian pendapatannya disisihkan untuk membayar iuran dermaga sebesar dua puluh ribu rupiah tiap kali beroperasi. Selebihnya ia gunakan untuk kebutuhan keluarga kecilnya.

"Anak saya dua, satu TK, satu baru satu tahun," katanya sambil tersenyum.

Bagi Anas, pekerjaan menarik perahu bukan sekadar tambahan penghasilan, tetapi juga kesempatan untuk hidup di kampung sendiri.

Sebelum menjadi tempat wisata, kawasan ini hanya dilalui perahu dayung untuk keperluan warga. Kini, setiap kali wisatawan datang, perahu-perahu kecil di dermaga menjadi saksi perubahan ekonomi yang perlahan menghidupkan kampung.

Pengunjung menyusuri Sungai Pute dengan perahu menuju Kampung Berua di kawasan perbukitan karst Rammang-Rammang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Kamis (23/10/2025). ANTARA/Luqman Hakim

Baca juga: Asita sebut Festival Sulsel Menari potensial masuk paket wisata

Baca juga: Tongke-Tongke taman wisata mangrove andalan Sulsel

Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |