Jakarta (ANTARA) - Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai tajuk utama pemberitaan mencerminkan adanya kekhawatiran yang semakin besar terhadap penurunan fertilitas.
Narasi krisis fertilitas telah mendominasi perhatian para pemimpin politik dunia dari mulai Elon Musk yang menyebut penurunan fertilitas sebagai "Keruntuhan Populasi" hingga peringatan Yoon Suk Yeol tentang "Krisis Demografi Nasional" di Korea Selatan.
Indonesia pun tidak kebal terhadap kekhawatiran ini karena angka kelahiran total yang terus menurun, sementara jumlah penduduk lanjut usia akan terus meningkat.
Selama ini, kebijakan kependudukan Indonesia dievaluasi melalui indikator seperti angka kelahiran total (total fertility rate/TFR), rasio ketergantungan, dan seberapa dekat kita dengan "bonus demografi".
TFR dan parameter demografis lainnya seringkali disalahartikan sebagai tujuan akhir dari kebijakan kependudukan. Namun, laporan State of World Population 2025 dari United Nations Population Fund (UNFPA) menekankan bahwa isu sebenarnya terkait fertilitas di Asia dan Pasifik bukanlah soal jumlah kelahiran, melainkan penyangkalan terhadap kemampuan individu untuk mengambil keputusan yang terinformasi tentang kehidupan reproduksi, masa depan, dan keluarganya.
Kini Indonesia berada di titik krusial. Diperlukan pergeseran paradigma dalam memahami dan merespons penurunan populasi. Fertilitas rendah seharusnya dilihat sebagai sinyal untuk menelaah alasan mengapa individu memilih untuk memiliki anak lebih sedikit.
Untuk memahami penurunan fertilitas secara bermakna, kita harus bertanya terlebih dahulu: Apakah tanggung jawab pengasuhan dibagi secara adil di dalam rumah tangga dan didukung oleh kebijakan publik? Apakah orang tua memiliki akses terhadap layanan penitipan anak yang terjangkau, pendidikan berkualitas, dan layanan kesehatan yang komprehensif? Apakah anak muda mampu merencanakan masa depan tanpa terbebani oleh ketidakpastian ekonomi?
Baca juga: Peneliti: Penguatan program KB bisa atasi penurunan fertilitas di RI
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.