Jakarta (ANTARA) - Setiap 2 Mei, masyarakat Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional yang juga menandai hari lahir Bapak Pendidikan, Ki Hajar Dewantara. Momen ini jadi ajang refleksi untuk melihat kembali arah pendidikan kita di tengah dunia yang terus berubah, terutama karena kemajuan teknologi.
Guru, sebagai garda terdepan, perlu menjadi pembelajar sepanjang hayat demi membentuk generasi yang beriman, sehat, mandiri, kritis, kreatif, komunikatif, kolaboratif, dan cinta Tanah Air.
Lalu, mengapa penting bagi guru terus belajar di era perubahan ini? Bagaimana mereka bisa melakukannya, dan ekosistem seperti apa yang dibutuhkan untuk mendukung semangat belajar mereka?
Penelitian di banyak negara telah membuktikan kontribusi guru yang jauh lebih besar dibandingkan faktor lain dalam pendidikan seperti kebijakan, kurikulum, dan bahkan fasilitas.
Review penelitian empiris yang dilakukan oleh van de Grift (2014) menunjukkan bahwa 15 – 25 persen hasil belajar siswa bergantung pada kualitas guru mengajar. Fakta ini juga didukung oleh penelitian empiris lainya.
Kurikulum, kebijakan dan fasilitas boleh sangat baik, namun jika guru tidak mampu menghadirkan proses pembelajaran yang berkualitas, dampaknya tentu sulit untuk bisa dilihat.
Meskipun fasilitas terbatas, jika guru mampu menghadirkan inovasi dan kreatifitas pembelajaran, siswa akan tetap semangat belajar dan pada akhirnya memberikan dampak positif terhadap hasil belajar mereka.
Alasan lain kenapa guru perlu menjadi pembelajar sepanjang hayat adalah perkembangan teknologi yang pesat dan kebutuhan siswa yang terus berubah. Kondisi ini menuntut dunia pendidikan, termasuk guru, untuk cepat beradaptasi.
Siswa saat ini lekat dengan dunia digital seperti YouTube, podcast, game edukatif, dan media digital lain. Karena itu, guru perlu mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran agar sesuai dengan gaya belajar mereka.
Platform seperti Google Classroom, Microsoft Teams, dan Moodle memungkinkan pembelajaran yang fleksibel dan personal, menyesuaikan dengan kecepatan dan gaya belajar siswa. Ini menuntut guru untuk mampu mengelola pembelajaran digital yang responsif, relevan, dan mudah diakses kapan saja.
Guru juga dituntut untuk memberi contoh, menjadi role model bagi siswa. Guru tidak hanya memberikan penjelasan melalui kata-kata di depan kelas, tetapi lebih penting lagi adalah mengajar melalui sikap, perilaku dan cara menghadapi perubahan dan tantangan yang semakin berkembang.
Baca juga: Ahli: Peningkatan pemasukan guru berdampak pada kualitas pengajaran
Siswa membutuhkan teladan yang konkret dan nyata dan ketika melihat guru mereka juga semangat belajar meningkatkan kompetensi dan profesionalisme, siswa akan memiliki motivasi yang lebih tinggi untuk terus belajar.
Selain itu, guru perlu memiliki kemampuan untuk merefleksikan apa yang mereka lakukan di kelas, baik dalam mengajar, mengambil keputusan, maupun mengelola siswa. Refleksi ini penting agar mereka bisa belajar dari pengalaman sendiri dan terus memperbaiki cara mengajar demi kebaikan siswa.
Jika guru tidak terus belajar, mereka bisa saja tetap menggunakan metode lama yang mungkin sudah tidak cocok dengan kebutuhan dan keberagaman siswa masa kini. Dalam konteks ini, guru pada saat bersamaan bisa berperan menjadi peneliti untuk mempraktikkan beragam model pembelajaran dan membangun budaya berpikir kritis dan kontekstual.
Tentu masih banyak alasan lain mengapa guru perlu menjadi pembelajar sepanjang hayat. Dengan terus mengembangkan praktik pembelajaran yang lebih efektif dan responsif terhadap perubahan sosial, budaya, dan teknologi, sebagaimana dijelaskan oleh Darling-Hammond dkk. (2017), guru akan mampu memastikan kualitas pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Kita tahu bahwa dunia kita tidak statis, begitu juga dengan pendidikan. Seiring dengan perubahan zaman, kurikulum, tekonologi dan pendekatan pembelajaran, karakteristik siswa, dan dinamika lain yang terus bergerak, guru perlu terus memperbarui pengetahuan dan keterampilannya secara berkelanjutan agar dapat merespon dan memenuhi kebutuhan abad 21, yang menekankan kompetensi berfikir kritis, kolaborasi, kreatifitas dan literasi digital.
Di Indonesia, mengacu kepada Dimensi Profil Lulusan (DPL) dalam Pembelajaran Mendalam, kebutuhan abad 21 diterjemahkan menjadi keimanan, kewargaan, kreativitas, penalaran kritis, kolaborasi, kemandirian, kesehatan, dan komunikasi.
Tidak kalah dengan gebrakan yang dicanangkan oleh Kemendikdasmen, Kementerian Agama juga mengeluarkan kebijakan strategis, Kurikulum Berbasis Cinta, untuk mewujudkan pendidikan yang penuh kasih sayang, toleran, dan berempati sehingga siswa tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual. Dinamika kebijakan yang dicetuskan oleh pemerintah tentu perlu direspon oleh guru secara fleksibel dan cepat melakukan adaptasi.
Oleh karena itu, dalam rangka memperingati Hardiknas 2025 ini, menjadi relevan untuk melakukan refleksi dengan memikirkan strategi membangun ekosistem yang bisa membantu guru terus bersemangat menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Bahkan guru yang sudah berkualitas sekalipun tetap dituntut untuk terus meningkatkan kapasitas mereka sehingga betul-betul menjadi pembelajar dan senantiasa memberikan yang terbaik untuk siswa mereka.
Baca juga: Presiden luncurkan renovasi sekolah hingga bantuan guru saat Hardiknas
Ekosistem yang mendukung
Hingga April 2025, jumlah guru di Indonesia tercatat mencapai 5.5 juta, yang mencakup tidak hanya guru di sekolah tetapi juga di madrasah, menurut data Kemdikbud. Dari jumlah tersebut, guru madrasah tercatat sebanyak 829.970.
Namun, hingga 2023, hanya sekitar 1,27 juta guru yang telah tersertifikasi, artinya lebih dari separuh belum mendapat akses peningkatan profesionalisme melalui PPG. Fakta ini menunjukkan pentingnya upaya berkelanjutan dari pemerintah dan masyarakat untuk mendorong guru menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Pertama, di era digital saat ini, penting bagi pemerintah untuk menyediakan infrastruktur digital bagi semua guru terutama di daerah 3 T. Pemetaan wilayah tanpa akses listrik, internet, dan guru yang belum memiliki perangkat digital penting sebagai dasar penyediaan infrastruktur, yang bisa dilakukan melalui kemitraan publik dengan perusahaan teknologi Google, Microsoft, Gojek dan Telkomsel. Selain itu, forum kolaboratif seperti MGMP perlu terus didorong agar guru bisa saling berbagi tantangan, inovasi, dan praktik baik secara digital namun tetap interaktif.
Kedua, infrastruktur digital ini tidak akan memberikan dampak berarti jika pelatihan berkelanjutan yang relevan tidak dikembangkan, yang tentu harus sesuai dengan kebutuhan guru. Need assessment untuk mengetahui kompetensi awal dan kebutuhan guru, kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa, perkembangan teknologi dan kebijakan pemerintah bisa dijadikan landasan untuk menyusun modul pelatihan.
Selain itu, pelatihan guru sebaiknya didasarkan pada temuan empiris tentang praktik mengajar yang efektif, sebagaimana dikaji dalam Teacher Effectiveness Research (TER). Salah satu model TER yang menonjol adalah Dynamic Model yang dikembangkan oleh Creemers & Kyriakides (2008), yang menekankan pembelajaran berdiferensiasi, lingkungan belajar yang bermakna, berpikir kritis, dan regulasi diri siswa. Model ini juga menawarkan penjenjangan keterampilan mengajar, sehingga modul pelatihan dapat disusun secara bertahap sesuai tingkat kompetensi masing-masing guru.
Selanjutnya, kemitraan antara sekolah/madrasah dan perguruan tinggi merupakan langkah strategis untuk memfasilitasi guru mengembangkan kompetensi, yang tidak terbatas pada program formal seperti Pendidikan Profesi Guru (PPG), tetapi juga kegiatan lain yang berkelanjutan.
Penting untuk menghindari pola kerja sama yang hanya bergantung pada adanya proyek atau pendanaan tertentu, yang berhenti begitu proyek selesai. Sebaliknya, kolaborasi ini bisa dijalankan dalam semangat pengabdian kepada masyarakat, yang merupakan bagian penting dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Kemitraan serupa juga bisa dibangun dengan asosiasi profesi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, dan institusi lain yang peduli terhadap pendidikan. Semua pihak ini dapat berkontribusi dalam menciptakan lebih banyak peluang bagi guru untuk terus belajar dan meningkatkan kemampuan mereka.
Terakhir, membangun ekosistem guru pembelajar memerlukan langkah konkret, seperti mengurangi beban administrasi agar guru memiliki waktu untuk mengembangkan diri. Semua ini tentu membutuhkan dukungan kuat dari pimpinan sekolah hingga pemerintah, melalui visi yang jelas, kebijakan yang mendukung, dan penyediaan sumber daya yang memadai.
Dukungan pimpinan dari mulai tingkat satuan pendidikan hingga pemerintah pusat menjadi kunci dalam membangun komunitas guru pembelajar yang berdaya dan berkelanjutan.
Baca juga: Biografi Ki Hajar Dewantara dan kutipan-kutipan inspiratifnya
Baca juga: BKSAP: Sistem pendidikan perlu merujuk kembali ke Ki Hajar Dewantara
*) Siti Nurul Azkiyah adalah Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Copyright © ANTARA 2025