Jakarta (ANTARA) - Dalam Islam, pernikahan bukan hanya tentang penyatuan dua individu, tetapi juga tentang membangun kehidupan yang harmonis berdasarkan nilai-nilai agama. Salah satu konsep penting dalam memilih pasangan adalah sekufu atau kesetaraan dalam pernikahan.
Banyak orang yang memahami sekufu hanyalah sebatas kesamaan status sosial atau ekonomi. Padahal, dalam Islam makna sekufu jauh lebih luas. Kesetaraan ini mencakup aspek agama, akhlak serta kemampuan dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
Baca juga: Syarat daftar nikah 2025 dari Kemenag
Sekufu bukan syarat sah pernikahan
Konsep al-kafa’ah (kesetaraan) bukanlah syarat sah pernikahan, melainkan lebih kepada pertimbangan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Pendapat ini dipegang oleh mayoritas ulama, termasuk Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad rahimahumullah. Ibnu Qudamah rahimahullah juga menyatakan bahwa al-kafa’ah lebih bersifat anjuran daripada keharusan.
Meskipun bukan syarat sah, al-kafa’ah bisa menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam kelangsungan pernikahan. Jika wali wanita merasa calon suami tidak sekufu, mereka memiliki hak untuk mengajukan pembatalan (faskh) akad nikah. Hal ini karena mereka mungkin merasa keberatan menerima menantu yang tidak sepadan dalam hal tertentu.
Baca juga: Persiapan moral sebelum menikah agar tidak ada ghosting dan KDRT
Aspek-aspek kesetaraan dalam pernikahan
Menurut Al-Buhuti rahimahullah, kesetaraan dalam pernikahan mencakup beberapa aspek berikut:
1. Agama dan Kesalehan
Kesamaan dalam tingkat keimanan, pemahaman agama, serta ketakwaan menjadi faktor utama. Pasangan yang memiliki akhlak baik dan wawasan keislaman yang serupa lebih berpotensi membangun rumah tangga yang harmonis.
2. Nasab (Keturunan)
Kesetaraan dalam garis keturunan menjadi pertimbangan, terutama dalam tradisi tertentu. Namun, sebagian ulama menilai bahwa faktor ini tidak selalu menjadi syarat utama dalam pernikahan.
3. Status kebebasan (merdeka atau budak)
Pada zaman dahulu, status ini menjadi pertimbangan karena perbedaan hak dan tanggung jawab dalam masyarakat.
4. Kemampuan Saling Melengkapi
Jika salah satu pasangan memiliki kekurangan dalam satu aspek, tetapi unggul dalam aspek lainnya, maka tetap bisa dianggap sekufu. Yang terpenting adalah adanya keseimbangan yang dapat menunjang kehidupan rumah tangga yang harmonis.
Baca juga: Gigi eks-Cherrybelle terbantu Perpusnas buat peran penyanyi Tionghoa
Jika wali atau pihak perempuan merasa tidak ridha dengan pasangan yang dianggap tidak sekufu, mereka berhak mengajukan pembatalan pernikahan.
Hal ini sebagaimana Hadits dari Abdullah bin Buraidah menyebutkan bahwa seorang gadis mengeluhkan pernikahannya yang diatur ayahnya demi status sosial. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun memberinya pilihan untuk melanjutkan atau membatalkan pernikahan (HR. An-Nasa’i & Ibnu Majah).
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berpendapat bahwa perempuan tidak boleh dinikahkan dengan pria yang memiliki keyakinan atau perilaku menyimpang, seperti misalnya meninggalkan shalat. Jika terbukti demikian setelah menikah, pernikahan dapat dibatalkan.
Dengan demikian, dalam Islam, sekufu bukanlah syarat sah pernikahan, tetapi menjadi faktor penting dalam menjaga keharmonisan rumah tangga.
Kesetaraan dalam agama dan akhlak lebih diutamakan dibandingkan status sosial atau ekonomi. Oleh karena itu, memilih pasangan yang sekufu dalam hal keyakinan dan karakter dapat membantu membangun rumah tangga yang harmonis dan penuh berkah.
Baca juga: Mengapa perkawinan anak di bawah umur merugikan? ini penjelasannya
Baca juga: Film "Pernikahan Arwah" ingin sajikan horor yang berbeda
Pewarta: Allisa Luthfia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025