Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan vonis majelis hakim terhadap dokter Priguna Anugerah Pratama yang didakwa melakukan kekerasan seksual di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat, telah mengakomodasi hak-hak korban.
Wakil Ketua LPSK Sri Nurherwati, dalam keterangan diterima di Jakarta, Senin, mengapresiasi putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung yang menjatuhkan vonis 11 tahun penjara sekaligus menghukum terdakwa membayar restitusi Rp137 juta.
“LPSK mengapresiasi majelis hakim yang telah mempertimbangkan hak-hak korban secara utuh, tidak hanya menjatuhkan hukuman pidana terhadap pelaku, tetapi juga mengakomodasi pemulihan korban melalui restitusi,” ucap Nurherwati.
LPSK menilai langkah majelis hakim telah mencerminkan keberpihakan pada pemulihan korban, serta penerapan prinsip keadilan restoratif dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Apresiasi ini kami berikan karena restitusi tetap dikabulkan meskipun korban sebelumnya telah menerima uang kerahiman,” katanya.
Ia menyebut pengakomodasian restitusi mencerminkan keberpihakan pada korban sebagai subjek utama dalam proses keadilan. LPSK juga menilai putusan itu menegaskan posisi korban dalam sistem peradilan pidana sebagai subjek yang berhak atas pemulihan.
Menurut LPSK, restitusi merupakan gambaran konkret atas kerugian yang dialami korban tindak pidana. Restitusi menjadi bentuk tanggung jawab pelaku terhadap penderitaan korban, baik secara ekonomi, psikologis, maupun sosial.
Berdasarkan penilaian LPSK, terdapat tiga korban yang memperoleh restitusi dalam perkara ini. Masing-masing korban memiliki nilai kewajaran yang telah dihitung secara objektif, sesuai dengan tingkat kerugian dan dampak psikologis yang dialami.
Adapun rincian restitusi tersebut, antara lain, korban FH sebesar Rp79.429.000, NK sebesar Rp49.810.000, dan FPA sebesar Rp8.640.000 sehingga total keseluruhan mencapai Rp137.879.000.
Nurherwati mengatakan restitusi harus dipahami sebagai bagian dari pemulihan psikologis dan sosial korban, bukan sekadar kompensasi finansial. Pendekatan yang berorientasi korban menjadi kunci agar keadilan benar-benar bermakna.
“Komponen restitusi itu meliputi empat hal. Pertama ganti kerugian atas kehilangan kekayaan. Kedua, ganti kerugian atas penderitaan korban. Ketiga, ganti biaya perawatan medis atau psikologis. Keempat, biaya lain seperti transportasi dan kebutuhan selama proses hukum,” ujar Nurherwati.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung menyatakan terdakwa Priguna terbukti bersalah melanggar Pasal 6 huruf c juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b, e, dan j Juncto Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Oleh karena itu, hakim memvonis yang bersangkutan dengan pidana penjara 11 tahun dan denda Rp100 juta subsider tiga bulan kurungan. Selain itu, hakim juga menghukum Priguna membayar restitusi atau ganti rugi senilai Rp137.879.000 kepada tiga korban.
Kasus ini bermula dari salah satu korban melaporkan kekerasan seksual yang dialami saat menjaga ayahnya yang dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Korban mengaku dibius oleh pelaku sehingga tidak sadarkan diri dan lalu diperkosa.
Priguna lantas diringkus Polda Jawa Barat. Dalam prosesnya, dua korban lain juga melaporkan pernah mengalami pelecehan seksual oleh Priguna dengan modus serupa. Dua korban lainnya itu merupakan pasien.
Baca juga: Kementerian PPPA minta dokter pelaku pemerkosaan di RSHS dihukum berat
Baca juga: Menteri HAM sebut dokter PPDS pelaku pemerkosaan harus diproses hukum
Baca juga: Kemdiktisaintek imbau kampus punya Satgas PPKS cegah kekerasan seksual
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































