Jakarta (ANTARA) - Anggota DPRD DKI Jakarta Hardiyanto Kenneth menilai rencana pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan harus dikaji lebih mendalam agar tidak membebani masyarakat, khususnya warga berpenghasilan rendah.
Kenneth di Jakarta, Jumat, menegaskan, warga Jakarta, terutama peserta mandiri kelas menengah ke bawah, bisa terdampak signifikan jika tidak ada skema subsidi atau kompensasi yang jelas dari pemerintah.
"Kami memahami tantangan pembiayaan BPJS Kesehatan, tetapi jangan sampai masyarakat menjadi korban. Jika iuran naik, maka layanan harus ikut membaik," katanya.
Ia menekankan bahwa jangan hanya membuat suatu program yang ujung-ujungnya membebani rakyat tanpa ada perbaikan yang nyata.
Baca juga: Masih ada rumah sakit di Jakarta tolak pasien yang gunakan BPJS
Karena ketika ada kenaikan, maka peserta BPJS mandiri pasti akan terkena dampak langsung, terutama bagi kelas pekerja informal atau keluarga dengan penghasilan pas-pasan.
"Biaya kesehatan yang semula terjangkau bisa menjadi beban baru dalam pengeluaran bulanan," ujarnya.
Menurut Bang Kent sapaan akrabnya, dengan adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut banyak peserta aktif yang akan berhenti karena terbebani dengan kenaikan tersebut.
"Masyarakat yang merasa terbebani bisa menunggak iuran atau bahkan berhenti sebagai peserta aktif. Hal ini justru akan mengurangi kepesertaan aktif dan memperburuk rasio iuran terhadap klaim BPJS Kesehatan," kata Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta itu.
Ia meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk ikut bersuara dan bersikap dalam pembahasan kebijakan nasional ini, mengingat Jakarta memiliki jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sangat besar, termasuk yang ditanggung dalam skema Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Baca juga: Ini beda JKN, BPJS Kesehatan, dan KIS
Menurut dia, jika tidak diimbangi dengan perbaikan layanan dan fasilitas yang lebih baik, peserta bisa merasa dirugikan karena harus membayar lebih mahal tapi tetap harus antre panjang atau mendapat layanan yang seadanya. Sehingga, kepercayaan terhadap sistem JKN bisa menurun.
"Untuk itu perlu adanya pembicaraan serius antar Pemprov DKI dan Pemerintah Pusat soal ini dan juga harus di pikirkan terkait dampak fiskalnya juga," kata Ketua Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas RI (IKAL) PPRA Angkatan LXII itu.
Kent juga meminta BPJS Kesehatan untuk lebih transparan dalam menyampaikan kondisi keuangan, termasuk penggunaan dana dan efisiensi operasional. Menurutnya, keterbukaan ini penting agar publik tidak curiga bahwa kenaikan iuran hanya disebabkan oleh buruknya tata kelola.
"Sebelum kebijakan ini diputuskan, DPRD DKI akan mendorong adanya forum dengar pendapat dengan pihak BPJS Kesehatan, Kemenkes, dan stakeholder lainnya. Kami ingin ada kejelasan dan kepastian hukum yang melindungi Hak Warga Jakarta," tuturnya.
Dalam skema JKN, kata dia, keberlangsungan pelayanan kesehatan sangat bergantung pada kemitraan yang baik antara BPJS Kesehatan dan rumah sakit.
Kent pun meminta BPJS Kesehatan untuk lebih aktif melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait rencana kenaikan iuran JKN. Banyak warga Jakarta, khususnya di wilayah padat penduduk dan masyarakat berpenghasilan rendah, yang belum mendapat informasi memadai tentang kebijakan tersebut.
"Saya mendorong BPJS Kesehatan dan juga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyampaikan informasi ini secara masif, baik melalui RT/RW, kelurahan, media sosial, hingga rumah ibadah. Kalau iuran naik tanpa sosialisasi yang cukup, masyarakat bisa merasa dibebani tanpa tahu alasannya. Ini bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap program jaminan sosial itu sendiri," katanya.
Selain itu, Kent juga meminta BPJS Kesehatan untuk lebih gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait jenis penyakit dan layanan kesehatan yang ditanggung dan tidak ditanggung oleh program JKN.
Baca juga: Cakupan layanan kesehatan di Jakarta Barat capai 99,95 persen
Baca juga: Menkes: Belum ada kenaikan iuran BPJS pada 2025 mendatang
Karena banyak warga Jakarta yang merasa bingung, bahkan kecewa, ketika layanan atau pengobatan tertentu tidak dijamin oleh BPJS karena kurangnya informasi.
"Saya menerima banyak keluhan dari warga yang merasa tidak mendapat pelayanan tertentu dari BPJS Kesehatan, padahal setelah ditelusuri, ternyata memang jenis penyakit atau prosedurnya tidak termasuk yang dijamin. Ini menandakan kurangnya sosialisasi," demikian Kent.
Hingga saat ini pemerintah pusat belum mengumumkan secara resmi besaran kenaikan iuran maupun waktu pasti pemberlakuannya. Peraturan Presiden (Perpres) baru yang akan menjadi dasar hukum perubahan iuran masih dalam proses finalisasi.
Pewarta: Khaerul Izan
Editor: Syaiful Hakim
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.