Jakarta (ANTARA) - Masa depan program Beras Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) adalah ujian nyata bagi kemampuan negara dalam menjaga keseimbangan antara stabilitas pangan dan daya beli masyarakat.
Program ini bukan sekadar kebijakan distribusi beras murah, tetapi menjadi representasi dari cara pemerintah mengelola sistem pangan nasional di tengah tekanan inflasi, fluktuasi global, dan penurunan daya beli masyarakat.
Ketika Direktur Utama Perum Bulog Ahmad Rizal Ramdhani menyebut telah menyalurkan lebih dari 500 ribu ton beras SPHP ke seluruh Indonesia, itu menunjukkan kapasitas logistik yang besar. Namun, tantangan terbesar bukan sekadar berapa ton beras yang keluar dari gudang Bulog, melainkan seberapa efektif beras itu menjaga harga dan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat.
SPHP, dirancang dengan niat mulia yakni untuk memastikan ketersediaan dan keterjangkauan beras, melindungi konsumen dari lonjakan harga, dan mencegah kelangkaan.
Namun, seperti kebijakan publik lainnya, implementasi di lapangan sering kali menghadirkan paradoks. Di satu sisi, program ini menjadi tumpuan bagi masyarakat berpendapatan rendah, di sisi lain, muncul kritik tentang kualitas, distribusi, dan efektivitasnya.
Beberapa laporan masyarakat mengenai kualitas beras SPHP yang dianggap rendah atau kemasan tidak standar memperlihatkan celah dalam rantai kontrol mutu.
Bulog memang sudah melakukan klarifikasi bahwa kode pada kemasan bukan tanggal kedaluwarsa, melainkan kode produksi, dan berkomitmen menarik produk bermasalah.
Tetapi fakta bahwa isu ini muncul menunjukkan perlunya sistem pengawasan yang lebih transparan dan komunikasi publik yang lebih baik.
Kritik terhadap kualitas beras SPHP tidak semata-mata soal rasa atau tampilan. Tapi berkaitan dengan kepercayaan publik. Ketika masyarakat meragukan kualitas beras program pemerintah, maka fungsi SPHP sebagai instrumen stabilisasi sosial ikut terganggu.
Di titik ini, pengawasan yang kuat dan keterlibatan publik menjadi kunci. Pemerintah perlu menegakkan sistem audit mutu dari gudang hingga ke tangan pengecer, dan mendorong kanal pelaporan digital yang aktif agar masyarakat bisa berpartisipasi langsung mengawasi kualitas.
Tantangan lain adalah harga. Beras SPHP dijual sekitar Rp12.500 per kilogram, lebih tinggi dari beras lokal yang rata-rata Rp10.600 per kilogram. Dalam kondisi daya beli masyarakat yang menurun, ini menjadi masalah serius.
SPHP yang seharusnya menjadi alternatif bagi kelompok rentan justru kalah bersaing dengan beras lokal yang lebih murah. Karena itu, penting bagi pemerintah untuk memperkuat model intervensi harga yang adaptif.
Subsidi silang dari surplus hasil ekspor pangan atau optimalisasi cadangan pangan pemerintah bisa menjadi solusi untuk menurunkan harga SPHP tanpa mengorbankan margin operasi Bulog.
Baca juga: Bulog dan Komite II DPD RI jaga stabilitas pasokan dan harga pangan
Baca juga: Kepala Bapanas: SPHP terus berlanjut demi stabilitas harga beras
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































