Jakarta (ANTARA) - Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede memperkirakan bahwa nilai tukar (kurs) rupiah cenderung bergerak sideways (dalam rentang sempit).
“Nilai tukar rupiah cenderung bergerak sideways pada perdagangan Rabu (12/2) malam, seiring investor yang masih menunggu rilis data inflasi AS (Amerika Serikat) semalam. Konsensus memperkirakan inflasi inti AS akan melambat, meskipun inflasi umum diperkirakan tetap stabil,” ujarnya kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.
Rilis data inflasi AS pada Januari 2025 mencatatkan inflasi headline bulanan AS naik menjadi 0,5 persen month over month (MoM) dari 0,4 persen MoM, melampaui estimasi 0,3 persen MoM.
Secara tahunan, inflasi headline AS disebut naik tipis menjadi 3,0 persen year on year (yoy) dari 2,9 persen yoy. Penyebab utama kenaikan inflasi adalah inflasi inti AS yang melonjak menjadi 3,3 persen yoy dari 3,2 persen yoy.
“Tekanan inflasi yang lebih tinggi mendorong ketidakpastian mengenai prospek inflasi AS pada tahun 2025, sehingga menurunkan kemungkinan penurunan suku bunga Fed yang lebih agresif. Akibatnya, permintaan dolar AS meningkat, mendorong Indeks Dolar AS naik hingga 108,3 pada Selasa (11/2),” ungkap Josua.
Nilai tukar rupiah (kurs) pada pembukaan perdagangan hari Kamis di Jakarta melemah hingga 7 poin atau 0,04 persen menjadi Rp16.383 per dolar Amerika Serikat (AS) dari sebelumnya Rp16.376 per dolar AS.
Baca juga: BI: Modal asing masuk bersih Rp1,45 triliun di pekan pertama Februari
Baca juga: Analis: Rupiah masih rentan melemah terhadap dolar AS untuk saat ini
Baca juga: HKI: Investasi batal ratusan triliun rupiah akibat premanisme ormas
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2025