Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Patijaya menegaskan bahwa penghapusan PPN untuk barang olahan intermediate pada sektor mineral strategis merupakan langkah mendesak untuk memperkuat daya saing industri nasional dan menarik investasi asing.
“PPN pada barang olahan intermediate meningkatkan biaya produksi dan memperlambat arus kas industri karena proses restitusi yang memakan waktu lebih dari 90 hari. Bahkan untuk industri berorientasi ekspor, meskipun PPN ekspor tarifnya 0 persen, mereka tetap harus menanggung PPN masukan di dalam negeri sebelum mendapatkan restitusi,” kata Bambang di Jakarta, Selasa.
Bambang menilai proses refund yang lambat membuat produk ekspor Indonesia kalah bersaing dibanding Vietnam dan Thailand yang memproses refund hanya dalam 15–30 hari
Ia menilai kebijakan fiskal saat ini justru mengurangi keunggulan kompetitif Indonesia di pasar global, khususnya ASEAN.
Lebih lanjut Ia mengatakan PPN harus dikenakan pada produk akhir, bukan pada bahan baku.
"Prinsipnya, PPN seharusnya dikenakan pada produk akhir, bukan pada bahan baku atau barang olahan intermediate. Jika pajak dikenakan di awal rantai produksi, beban biaya akan menumpuk dan mengurangi daya saing industri nasional,” ujarnya
Bambang juga membuka data PPN di beberapa negara ASEAN sebagai perbandingan yakni:
Vietnam: Tarif PPN 10 persen, zero-rated untuk ekspor dan sektor prioritas; refund 6–40 hari.
Thailand: Tarif VAT 7 persen, fasilitas bebas PPN untuk bahan baku ekspor di Free Trade Zone; refund maksimal 15 hari.
Indonesia: Tarif PPN 11 persen, berlaku di seluruh rantai produksi; refund rata-rata lebih dari 90 hari.
Dia mengatakan jika pemerintah tidak melakukan reformasi, proyek hilirisasi dan investasi strategis bisa beralih ke Vietnam atau Thailand.
"Padahal, dengan penghapusan PPN intermediate, kita bisa menurunkan biaya produksi 8–12 persen di sektor mineral strategis seperti ferronikel, timah ingot dan berbagai produk olahan intermediate lainnya,” ujarnya.
Meski kebijakan ini berpotensi menurunkan penerimaan negara hingga Rp110 triliun per tahun, Bambang menekankan bahwa dampak tersebut dapat dikompensasi.
“Basis pajak akan naik dari masuknya investasi baru, PPh badan, dividen BUMN, dan pajak karbon. Insentif fiskal harus dilihat sebagai strategi jangka panjang untuk industrialisasi,” jelas legislator asal Bangka Belitung itu.
Selain penghapusan PPN intermediate untuk sektor strategis, Bambang juga mengusulkan digitalisasi penuh proses restitusi PPN dengan SLA maksimal 30 hari.
“Jika kita ingin menjadi basis manufaktur ASEAN, kebijakan fiskal harus agile, efisien, dan pro-hilirisasi,” tuturnya.
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.