Jakarta (ANTARA) - Komisi X DPR RI akan menggelar rapat kerja (raker) dengan Menteri Kebudayaan Fadli Zon saat DPR RI kembali membuka masa sidang baru guna meluruskan wacana yang berkembang di publik terkait penulisan ulang sejarah Indonesia, termasuk diantaranya terkait pernyataannya soal peristiwa pemerkosaan pada Tragedi Mei 1998.
"Kami ada rencana akan raker setelah masa sidang di buka untuk meluruskan wacana yang berkembang di publik, tentu pada saat raker, salah satu yang akan kami pertanyakan adalah hal tersebut," kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.
Dia memandang pernyataan Fadli Zon terkait kasus perkosaan pada Tragedi Mei 1998 berpotensi melukai hati para korban dan merendahkan upaya pemulihan yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade.
"Sedikit keliru kalau dikatakan tidak ada perkosaan massal. Peristiwa itu terjadi, jangan tutupi sejarah," ujarnya.
Dia menekankan bahwa Tragedi Mei 1998 merupakan bagian kelam dari sejarah bangsa yang menyimpan luka mendalam, khususnya bagi perempuan korban kekerasan seksual.
Untuk itu, dia mengatakan bahwa pengingkaran terhadap peristiwa tersebut merupakan bentuk penghapusan jejak sejarah Indonesia.
"Itu adalah tragedi kemanusiaan yang nyata. Jangan menghapus jejak kekerasan seksual yang nyata dan telah diakui oleh masyarakat luar. Komnas Perempuan juga sudah melaporkan," ucapnya.
Dia juga menilai menutupi fakta terjadinya kekerasan seksual dalam insiden 1998 sama saja dengan merendahkan martabat dan menghambat proses pemulihan nama baik para korban, serta rekonsiliasi yang seharusnya terus diberikan.
Dia mengingatkan bahwa sejarah Indonesia tidak boleh direduksi menjadi narasi tunggal milik kekuasaan dan untuk menyenangkan penguasa, tetapi harus ditulis secara jujur, inklusif, dan partisipatif.
"Sejarah bukan sekadar narasi masa lalu, melainkan fondasi jati diri bangsa. Maka ketika ada upaya penulisan ulang sejarah, yang perlu kita pastikan bukan siapa yang menulis, tetapi mengapa dan untuk siapa sejarah itu ditulis," tuturnya.
Dia pun menekankan DPR RI akan mengawal penulisan ulang sejarah Indonesia yang dilakukan Kementerian Kebudayaan karena penulisan sejarah menyangkut kepentingan kolektif bangsa sehingga bukan hanya domain suatu kementerian saja.
"Sejarah bukan milik kementerian, tapi milik rakyat. DPR mewakili rakyat dan punya tanggung jawab memastikan proses ini tidak menjadi rekayasa ingatan kolektif, melainkan rekonstruksi objektif," katanya.
Lalu menyoroti pula minimnya partisipasi publik dan komunitas akademik dalam proses penyusunan ulang sejarah yang dilakukan Kementerian Kebudayaan. Menurut dia, jika masyarakat hanya boleh mengkritik setelah draf selesai maka hal itu bukanlah partisipasi, tetapi hanyalah konsumsi pasif.
Di sisi lain, dia mengkritik penggunaan istilah Sejarah Resmi dalam proyek penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan yang menurutnya sebagai warisan cara berpikir otoriter.
"Kita belajar dari masa lalu, ketika sejarah digunakan untuk membungkam, bukan mencerminkan keberagaman bangsa," ucapnya.
Dia meyakini bangsa yang besar adalah bangsa yang berani berdamai dengan masa lalunya dan menuliskannya secara jujur, bukan dengan menutupinya.
“Jika sejarah hanya ditulis untuk menyenangkan penguasa, maka ia bukan warisan bangsa, melainkan propaganda," katanya.
Lebih lanjut, dia menolak upaya pelabelan terhadap pihak-pihak yang berbeda pandangan dengan Pemerintah, seperti disebut ‘radikal’ atau ‘sesat sejarah’.
"Sejarah bukan dogma. Ia ruang tafsir. Negara seharusnya menjadi fasilitator yang adil, bukan produsen tunggal narasi sejarah nasional," paparnya.
Dia pun menegaskan Komisi X DPR RI akan mendorong evaluasi kritis terhadap proyek penulisan ulang sejarah nasional agar tetap sejalan dengan prinsip ilmiah, etika akademik, dan semangat kebangsaan yang plural.
Baca juga: Fadli Zon: Istilah massal kasus perkosaan Mei 1998 butuh bukti akurat
Baca juga: PCO: Penulisan sejarah '98 dikawal sejarawan profesional
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.