Jakarta (ANTARA) - Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan, program pengembangan sistem teknologi informasi (TI) untuk BPR dan BPRS dengan anggaran senilai Rp160 miliar sudah mendapatkan persetujuan dari Komisi XI DPR RI.
“Kami sedang mengembangkan (program) IT BPR dan Komisi XI sudah menyetujui. Hubungan dengan OJK sudah aman, itu akan dioperasikan berdua (bersama OJK),” kata Purbaya dalam acara “Outlook Ekonomi DPR” di Jakarta, Selasa.
Purbaya mengatakan, pada awalnya muncul kebingungan apakah program tersebut berada di luar kapasitas LPS. Oleh sebab itu, LPS pun berkonsultasi dengan Komisi XI DPR RI terlebih dahulu dan kemudian mendapatkan persetujuan.
LPS juga berdiskusi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan kedua pihak sepakat bahwa program bisa dijalankan. Dalam hal ini, program pengembangan IT untuk Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) akan dijalankan LPS bersama OJK, dengan anggaran yang sepenuhnya disiapkan oleh LPS.
Anggaran senilai Rp160 miliar khusus ditujukan untuk pilot project pada tahun ini saja. Menurut Purbaya, anggaran program IT BPR/BPRS untuk tahun depan kemungkinan bisa lebih besar lagi.
LPS semula menargetkan pilot project penerapan sistem IT untuk 100 BPR/BPRS. Namun, mengingat pelaksanaan program ini tidak sesuai rencana awal, maka pilot project akan dimulai hanya untuk beberapa BPR/BPRS dan selanjutnya secara penuh mencapai 100 BPRS/BPRS.
Dalam menentukan BPR/BPRS mana saja yang bisa ikut serta dalam pilot project, LPS bekerja sama dengan Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) yang lebih memahami kondisi riil di industri.
“Jadi kita mesti tes betul, jangan sampai sistemnya jelek. Beberapa bulan tes untuk satu hingga tiga BPR, kita masukkan sistem kita, tes jalan apa enggak. Begitu jalan, kita akan dengan cepat sebarkan ke BPR-BPR yang lain. Ini serius, lho. Kita kasih investor IT-nya. Kalau BPR-nya nggak mampu, kita kasih sistem komputernya juga, software dan hardware. Jadi ini program yang serius,” kata Purbaya.
Melalui program ini, BPR/BPRS, terutama skala kecil yang tidak memiliki modal, diharapkan bisa memiliki sistem IT yang baik sehingga bisa bersaing dengan perbankan besar yang telah lebih dulu menjalankan sistem digitalisasi, bahkan bisa bersaing dengan layanan pinjaman daring (pindar).
Manajemen BPR/BPRS juga diharapkan bisa lebih kuat. Untuk itu, LPS berencana mengadakan pelatihan-pelatihan terkait sistem IT kepada BPR/BPRS.
“Sekarang setiap tahun ini yang jatuh kan BPR (tutup usaha). Kalau mereka punya sistem IT yang kuat, makin dilatih juga, nanti yang jatuh semakin sedikit dan mereka menjadi agen yang bagus sekali untuk membangun UKM-UKM di daerah,” kata Purbaya.
Belum lama ini, OJK telah melakukan pencabutan izin usaha PT Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) Gebu Prima yang beralamat di Kota Medan, Sumatera Utara, dikarenakan pemegang saham, dewan komisaris, dan direksi tidak dapat melakukan upaya penyehatan BPR sesuai tenggat waktu yang diberikan.
Pencabutan izin usaha BPRS Gebu Prima menjadi daftar yang pertama untuk tahun ini. Sebelumnya pada 2024, OJK telah melakukan pencabutan izin usaha kepada 20 BPR/BPRS yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Berdasarkan data LPS, hingga April 2025 terdapat 1.518 BPR/BPRS yang menjadi bank peserta penjaminan LPS. Sedangkan bank umum yang menjadi peserta penjaminan tercatat sebanyak 105 bank hingga periode April 2025.
Baca juga: OJK sebut tren penurunan jumlah BPR masih berlanjut pada tahun ini
Baca juga: OJK menilai prospek IPO bagi perbankan tahun ini masih positif
Baca juga: OJK cabut izin usaha BPRS Gebu Prima di Sumatera Utara
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025