Jakarta (ANTARA) - Di ujung tenggara Indonesia, tepatnya di Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, geliat pariwisata tak lagi sekadar menjadi catatan statistik, melainkan tumbuh sebagai semangat kolektif untuk membangun masa depan.
Mereka punya bentangan Pantai Oeselli yang perawan hingga gugusan eksotis Pantai Mulut Seribu, menjadikan kawasan ini sarat keindahan yang tak habis dipuji.
Pantas jika dalam kurun waktu hanya tiga tahun, Rote Ndao mencatat lonjakan luar biasa untuk jumlah wisatawan mancanegara, dari 96 orang pada 2020 menjadi 6.080 orang pada 2023. Demikian pula wisatawan nusantara meningkat dari 3.510 menjadi 10.135 orang.
Lonjakan yang mencapai lebih dari 60 kali lipat untuk wisatawan mancanegara ini adalah isyarat kuat bahwa Rote sedang menjadi primadona baru dalam peta pariwisata Indonesia.
Namun, pertumbuhan pariwisata bukan hanya soal angka dan keindahan alam. Di balik setiap keberhasilan sektor ini, tersembunyi kebutuhan mendesak akan sumber daya manusia yang terampil, profesional, dan memahami filosofi pelayanan.
Di sinilah pentingnya sebuah lembaga pendidikan formal yang memungkinkan masyarakat di wilayah ini mampu menghadirkan layanan pariwisata berstandar tinggi.
Sebuah akademi yang hadir menawarkan kesempatan belajar pariwisata gratis merupakan inisiatif yang pantas untuk diapresiasi.
Baca juga: Pemerintah giatkan promosi dan kolaborasi untuk menarik wisatawan
Rote Hospitality Academy (RHA) sedang menjadi buah bibir masyarakat Rote Ndao kini karena kehadirannya yang menawarkan bekal sangat penting.
Akademi ini bukan sekadar institusi pendidikan, tetapi sebuah gerakan pemberdayaan yang menyentuh jantung masyarakat lokal.
Memberikan pendidikan pariwisata secara gratis kepada pemuda dan pemudi Rote sebagai langkah visioner yang membuka jalan bagi transformasi ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan.
Dengan pendekatan yang menyeluruh, Rote Hospitality Academy melatih generasi muda tidak hanya pada aspek teknis industri perhotelan dan pariwisata, tapi juga pada pembangunan karakter, etika kerja, penguasaan bahasa Inggris, hingga pemahaman mendalam tentang kekayaan alam dan budaya setempat.
Para peserta didik diarahkan untuk menjadi pemandu yang tidak hanya ramah, tetapi juga mampu menyampaikan pengetahuan tentang flora, fauna, dan cerita lokal kepada wisatawan dari berbagai penjuru dunia.
Ini bukan hanya tentang menjamu, tapi juga tentang merepresentasikan jati diri daerah mereka dengan kebanggaan dan percaya diri.
Nora Bawazier, Direktur Program sekaligus pendidik di akademi ini, menjadi sosok sentral dalam mendorong semangat belajar dan berbagi.
Ia menyampaikan rasa syukurnya atas manfaat nyata dari program pelatihan ini bagi anak-anak muda lokal. “Tentu saya senang, manfaat pelatihan dapat dirasakan putra-putri lokal yang sudah dilatih, bisa jadi SDM berkualitas di bidang pariwisata,” ujarnya.
Tapi Nora tidak berhenti pada target individu. Ia membayangkan efek berantai dari pendidikan ini. “Lebih keren lagi bila apa yang dipelajari di sini bisa dishare pada kakak, adik dan orang lain di rumah maupun tetangga agar semakin banyak yang bisa ikut belajar dan lebih maju,” katanya.
Pernyataan ini mencerminkan satu nilai penting bahwa pendidikan sebagai alat transformasi sosial.
Kesempatan belajar pariwisata gratis membuktikan bahwa pendidikan vokasi bukan hanya sarana mencari kerja, tetapi juga mekanisme untuk memperkuat ikatan sosial dan membangun budaya belajar dalam komunitas.
Saat peserta didik membagikan ilmunya pada lingkungan sekitar, ia tak hanya menjadi agen ekonomi, tapi juga agen perubahan sosial.
Baca juga: "Pemandu wisata mayantara" merevolusi pengalaman wisata
Festival Rote Malole
Ide dan inspirasi wadah belajar gratis ini tak bisa dilepaskan dari momen penting yang terjadi setiap tahun, yaitu Festival Rote Malole yang digelar oleh Pemerintah Daerah Rote Ndao bersama Kementerian Pariwisata. Tahun ini festival tersebut akan digelar pada 13-14 Agustus 2025.
Festival ini bukan hanya panggung promosi pariwisata, tetapi juga cermin kesiapan masyarakat lokal dalam menjamu wisatawan dengan keramahan, kebudayaan, dan keterampilan yang mumpuni.
Inisiatif seperti ini akan semakin bermakna jika didukung oleh SDM yang terlatih dan sadar akan nilai jual daerahnya sendiri.
Apa yang dilakukan sejumlah pihak untuk menghadirkan pendidikan gratis sejatinya bukan hanya menyiapkan anak-anak muda untuk menjadi pekerja hotel atau pemandu wisata.
Mereka sedang dipersiapkan untuk menjadi pelaku ekonomi yang andal, yang mampu membaca arah pasar, memahami dinamika wisatawan global, dan meresponsnya dengan layanan yang setara dengan standar internasional.
Tak heran jika dalam waktu dekat, para lulusan akademi ini diproyeksikan tidak hanya bekerja di Indonesia, tetapi juga mampu bersaing di tingkat regional Asia Tenggara.
Lebih dari itu, langkah kecil ini diharapkan mampu mendatangkan harapan baru bahwa pengembangan sektor pariwisata tidak harus menunggu investasi besar dari luar.
Dengan memberdayakan masyarakat lokal, mempercayai kemampuan pemuda-pemudi setempat, dan memberikan akses pendidikan yang inklusif, kemajuan bisa tumbuh dari dalam.
Inilah bentuk kedaulatan pembangunan yang sejati, ketika masyarakat bukan hanya objek, tetapi subjek utama dari perubahan.
Apa yang terjadi di Rote hari ini bisa menjadi model bagi daerah lain di Indonesia yang memiliki potensi pariwisata namun masih tertinggal secara infrastruktur dan SDM.
Pemerintah daerah dan pusat bisa belajar dari pendekatan yang dilakukan di Rote, kombinasi antara kepekaan terhadap peluang ekonomi dan keberpihakan pada pembangunan manusia.
Dengan demikian, sektor pariwisata tidak hanya menjadi penghasil devisa, tapi juga wahana pemberdayaan dan transformasi sosial yang nyata.
Rote Ndao telah memulai langkah kecil yang berdampak besar. Ketika pendidikan dan pariwisata bertemu dalam satu visi pemberdayaan, maka lahirlah bukan hanya tenaga kerja, tapi generasi pemimpin baru yang siap membawa daerahnya melesat ke panggung global tanpa kehilangan akar budayanya.
Baca juga: DKI akan segera lakukan uji coba program sekolah swasta gratis
Copyright © ANTARA 2025