Jakarta (ANTARA) - Di tengah hiruk pikuk inovasi kecerdasan buatan dan penjelajahan ruang angkasa, terjadi sebuah pergeseran senyap, namun masif. Para titan teknologi yang mendefinisikan era digital, Bill Gates, Jeff Bezos, Mark Zuckerberg, dan Jack Ma, kini mengalihkan sebagian besar kekayaan mereka ke aset paling purba di dunia, yakni tanah pertanian.
Bill Gates kini adalah pemilik lahan pertanian terbesar di Amerika Serikat, dengan luas lebih dari 270 ribu hektare. Jeff Bezos tidak mau kalah, mengakuisisi lebih dari 420 ribu hektare lahan.
Langkah Gates dan tokoh lain ini bukan sekadar diversifikasi portofolio biasa. Ketika orang-orang dengan akses informasi paling canggih di dunia mulai menimbun aset yang menjadi sumber kehidupan, kita harus bertanya, Apa yang mereka ketahui dan tidak kita ketahui?
Jawabannya adalah sebuah sinyal seismik, sebuah alarm darurat yang gaung gerakan Gates, Bezos, dan kawan-kawan ini harus sampai ke setiap rumah di perkotaan, koridor kebijakan pemerintah, dan ruang rapat para pengusaha di Indonesia.
Mengendus krisis
Investasi Gates dan para miliarder dunia ini didasari oleh analisis multilapis yang tajam. Pertama, lahan pertanian adalah benteng pertahanan ekonomi. Data historis membuktikan bahwa lahan pertanian merupakan aset lindung nilai inflasi yang superior.
Di saat saham bisa anjlok dan mata uang tergerus, nilai tanah dan hasil panennya cenderung meningkat. Indeks Lahan Pertanian NCREIF di AS, misalnya, menunjukkan imbal hasil tahunan rata-rata sekitar 10,15 persen sejak 1992, dengan volatilitas yang jauh lebih rendah dibandingkan pasar saham. Ini adalah aset yang stabil, saat dunia bergejolak.
Kedua, dan yang paling krusial, adalah antisipasi terhadap kerapuhan rantai pasok global. Pandemi COVID-19 dan konflik geopolitik di berbagai belahan dunia telah membuka mata kita, betapa rapuhnya sistem distribusi pangan modern.
Perang di satu benua dapat menyebabkan kelangkaan pupuk dan kenaikan harga gandum di benua lain. Gates dan para miliarder ini tidak hanya berinvestasi. Mereka sedang membangun sekoci penyelamat, mengamankan kontrol langsung atas produksi pangan sebagai antisipasi jika "perang rantai pasok" benar-benar terjadi.
Panggilan bertindak
Langkah Gates dan para raksasa global ini harus diterjemahkan menjadi tiga agenda aksi mendesak bagi Indonesia.
Bagi Masyarakat, mulailah membangun lumbung pangan keluarga. Ketergantungan total pada pasar adalah sebuah kerentanan. Saatnya masyarakat, terutama di perkotaan, membangun kemandirian pangan skala mikro.
Bagi mereka yang hidup dengan lahan sempit, solusi ada di depan mata, pertanian vertikal (vertical farming). Mengubah dinding kosong di teras, balkon, atau bahkan dalam ruangan menjadi taman vertikal yang produktif, bukan lagi sekadar hobi, melainkan sebuah langkah strategis.
Menanam sayuran, seperti selada, kangkung, bayam, atau cabai secara vertikal tidak hanya memenuhi sebagian kebutuhan gizi harian, tetapi juga mendidik generasi muda tentang siklus pangan dan mengurangi jejak karbon keluarga. Ini adalah fondasi ketahanan pangan yang dimulai dari unit terkecil, keluarga.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.