Ketahui istilah "Catur Wedha" sebagai nasihat rumah tangga adat Jawa

1 month ago 12

Jakarta (ANTARA) - Pernikahan dalam budaya Jawa tidak hanya dimaknai sebagai penyatuan dua insan, tetapi juga mengandung nilai-nilai luhur dalam rumah tangga yang diwariskan turun-temurun.

Di balik setiap prosesi pernikahan adat Jawa, terdapat filosofi yang mengajarkan arti tanggung jawab, kesetiaan, dan keharmonisan hidup berumah tangga.

Salah satu tradisi lisan yang masih dijaga hingga saat ini adalah “Catur Wedha”, nasihat atau wejangan yang disampaikan ke pengantin menjelang pernikahan.

Makna dan asal istilah "Catur Wedha"

Istilah ini kadang terdengar asing bagi sebagian orang, terutama masyarakat yang berasal dari luar Jawa.

Secara harfiah, “Catur Wedha” berasal dari dua kata dalam bahasa Sanskerta. "Catur" yang berarti empat, dan "Wedha" (atau veda) yang berarti ajaran, nasihat, atau pengetahuan.

Sehingga, Catur Wedha dapat dimaknai sebagai empat ajaran atau empat nasihat yang menjadi pedoman bagi calon pengantin, terutama mempelai pria, dalam membina rumah tangga.

Tradisi ini biasanya disampaikan pada malam Midodareni, yakni malam sebelum akad nikah, setelah pihak calon pengantin pria menyerahkan seserahan kepada calon pengantin wanita.

Dalam momen sakral tersebut, ayah dari calon mempelai wanita akan memberikan empat nasihat tersebut kepada calon menantu prianya sebagai bekal menjalani kehidupan berkeluarga.

Dalam penyampaian tradisi Catur Wedha, wejangan biasanya diungkapkan menggunakan bahasa Jawa Ngoko, yaitu bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari antara orang tua dan anak.

Penggunaan bahasa ini mencerminkan kehangatan, kedekatan, serta keikhlasan orang tua dalam menyampaikan pesan terhadap anaknya.

Namun, jika calon mempelai pria berasal dari luar Jawa, nasihat dapat disampaikan dalam bahasa Indonesia agar maknanya tetap tersampaikan dengan jelas tanpa mengurangi nilai filosofisnya.

Isi empat nasihat dalam Catur Wedha

Berikut empat nasihat utama yang terkandung dalam Catur Wedha:

1. Hangayomi (mengayomi)

Nasihat ini menekankan agar suami mampu menjadi pelindung bagi istrinya, baik secara fisik maupun batin. Suami diharapkan dapat melindungi dengan tulus, sebagaimana orang tua yang melindungi anaknya, tanpa mengharapkan imbalan.

2. Hangayani (menyejahterakan)

Sebagai kepala keluarga, suami memiliki tanggung jawab untuk menyejahterakan keluarganya. Hal ini mencakup kemampuan dalam memenuhi kebutuhan istri dan keluarga, baik secara lahir maupun batin.

3. Hangayemi (memberi rasa nyaman)

Keharmonisan rumah tangga berawal dari rasa nyaman di antara pasangan. Nasihat ini mengingatkan suami agar selalu menciptakan suasana penuh kasih, sehingga istri merasa dicintai dan dihargai. Dengan begitu, hubungan akan tumbuh dalam rasa saling pengertian dan cinta.

4. Hanganthi (memimpin)

Sebagai nakhoda rumah tangga, suami diharapkan mampu menjadi pemimpin yang bijaksana. Ia harus mampu menuntun istri dan anak-anaknya ke arah kebaikan, serta mengambil keputusan dengan penuh tanggung jawab.

Baca juga: SeaBank dan BI Jateng melalui budaya perluas literasi-inklusi keuangan

Baca juga: Pemerintah dukung pelestarian warisan budaya Keraton Surakarta

Baca juga: Mengenal proses penentuan calon Raja Keraton Solo selanjutnya

Pewarta: Putri Atika Chairulia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |