Bondowoso (ANTARA) - Perjuangan mewujudkan kemerdekaan Indonesia oleh para pejuang di masa lalu, bukan sekadar upaya untuk membebaskan bangsa ini dari ketertindasan karena tindakan kaum penjajah.
Kemerdekaan Indonesia yang diperjuangkan para pahlawan dengan darah dan nyawa itu menyangkut banyak hal, di dalamnya, termasuk kebebasan menjalani ibadah, sesuai perintah agama masing-masing.
Karena itu, momentum Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2025 ini bisa kita jadikan sarana pengingat diri untuk memeragakan sikap toleran dan menebarkan rasa damai terhadap lingkungan masing-masing.
Kita menikmati status dan keadaan kemerdekaan Indonesia, saat ini, bukan dari hasil perjuangan kelompok tertentu, katakanlah kaum mayoritas. Tokoh-tokoh dan pejuang di masa kolonial itu juga berasal dari kaum minoritas.
Pada masa perjuangan itu, mereka tidak ribut dengan perbedaan keimanan. Sebaliknya, mereka justru bahu membahu dalam upaya komunal untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari tekanan kaum penjajah.
Karena itu, kalau saat ini masih ada sekelompok orang yang memaksakan kehendak terhadap golongan lain, seperti membubarkan sekelompok orang yang sedang beribadah, tidak mereka sadari bahwa hal itu merupakan wujud pengkhianatan nyata terhadap jerih payah para pejuang di masa lalu yang tidak hanya berasal dari satu golongan.
Kalau di masa lalu, para tokoh, termasuk tokoh agama, berjuang agar bangsa ini terbebas dari rasa tidak aman karena tekanan kaum penjajah, sudah seharusnya kita juga tetap berupaya menghadirkan rasa aman dan damai terhadap kelompok lain yang berbeda iman.
Bukan sebaliknya, kita, dengan mengatasnamakan kaum mayoritas, justru menghadirkan suasana batin tidak nyaman, bahkan menimbulkan ketakutan, akibat tindakan yang tidak bersikap toleran pada penganut agama yang tidak sama dengan kita.
Dengan memilih melakukan tindakan penghakiman sendiri atas ritual yang dijalani oleh sekelompok orang yang berbeda keyakinan, kita sejatinya bertindak seperti kaum penjajah di masa lalu. Kita telah mengingkari perjuangan para leluhur bangsa ini, yang di masa itu tidak memandang perbedaan iman sebagai ajang permusuhan.
Perbedaan keyakinan justru harus menjadikan kita memupuk sikap saling menerima. Kita harus menjadi bagian dari upaya yang telah dipandu oleh ideologi bangsa, yakni Pancasila. Pancasila yang digali oleh tokoh lintas agama dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia mengajarkan kita untuk hidup bersama dalam suasana aman dan damai.
Ajaran dasar dari agama itu sendiri, pada hakikatnya adalah saling mencintai dan menyayangi. Di Islam, misalnya, Menteri Agama Nasaruddin Umar, yang juga dikenal sebagai ulama terkemuka, mengemukakan bahwa intisari dari Al Qur'an adalah Surat Al Fatihah. Sementara intisari dari Surat Al Fatihah itu ada di ayat "Bismillahirrahmaanirrahiim" yang artinya "Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan penyayang".
Dalam Islam, Allah bahkan menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Hal itu juga dipertegas dalam Surat An-Nahl, Ayat 93, yakni "Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja)...."
Di agama Kristen juga mengajarkan sikap cinta kasih kepada sesama, bahkan termasuk terhadap orang yang menyakiti. Kristen menegaskan ajaran kasih sayang, dengan arahan, "Jika engkau ditampar di pipi kanan, maka serahkan juga pipi kirimu".
Sementara di dalam Budha mengajarkan tentang "metta", yaitu mengedepankan cinta kasih, yakni kasih yang tanpa pamrih, tanpa ada batasan, dan tidak ada diskriminasi terhadap seluruh makhluk hidup.
Hindu mengajarkan tentang "tri hita karana", yaitu menyangkut hubungan yang harmonis manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan yang harmonis lingkungan atau semua makhluk hidup.
Kita dihadirkan Tuhan ke alam semesta dan berhadapan dengan segala macam perbedaan, seharusnya menjadi sarana memeragakan sifat-sifat Tuhan untuk mengasihi segala sesuatu, tanpa syarat apapun.
Tuhan memeragakan sifat kasih sayangnya, salah satunya lewat aliran napas. Tuhan mengalirkan napas, tanpa memandang, apakah orang itu beragama tertentu atau tidak, bahkan tidak beragama, sekalipun. Napas tidak lagi diberikan oleh Tuhan kepada kita yang "kontraknya" sudah selesai, alias harus kembali kepada-NYA.
Menghadapi momen peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, kita bisa menyaksikan kegiatan bersama masyarakat di setiap perkampungan atau lingkungan tempat tinggal, tanpa memandang perbedaan latar belakang. Kegiatan gotong royong untuk membersihkan lingkungan ini hendaknya menjadi pelajaran yang tidak mengenal waktu untuk hidup bersama, dengan segala perbedaan, termasuk di luar bulan Agustus.
Demikian juga dengan kemeriahan peringatan Kemerdekaan RI di jalan raya dalam kegiatan karnaval yang di dalamnya menampilkan perbedaan, tetapi tetap dalam satu kesatuan sebagai bangsa Indonesia. Kalau karnaval menampilkan berbagai pakaian adat yang menjadi kekayaan budaya bangsa Indonesia, semestinya semangat itu juga terus menjadi jiwa toleran kita dalam keseharian.
Kemerdekaan Indonesia kita jadikan ajang untuk bersama-sama membangun bangsa ini menjadi maju dan semua yang ada di dalamnya mengalami ketentraman dan kemerdekaan hidup.
Kemerdekaan dan sikap toleran merupakan satu napas yang terus menerus perlu kita peragakan dalam meramaikan perjalanan bangsa ini menuju bangsa yang maju.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































