Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menekankan transparansi, kepatuhan administratif, serta konsistensi strategi industri tekstil nasional sebagai hal yang penting dalam menjaga daya saing, khususnya sektor hulu di bawah naungan Asosiasi Produsen Benang Serat dan Filamen Indonesia (APSyFI).
Berdasarkan data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), kepatuhan pelaporan industri anggota APSyFI tercatat masih rendah.
Dari 20 perusahaan anggota, hanya 15 yang melaporkan aktivitas industrinya, sementara lima perusahaan lainnya absen atau lalai.
"Masih ada perusahaan besar anggota APSyFI yang tidak melaporkan kinerjanya sama sekali. Padahal, kewajiban pelaporan ini adalah bentuk akuntabilitas industri kepada negara. Minimnya komitmen administratif justru melemahkan posisi asosiasi yang mengklaim sebagai garda depan tekstil nasional," kata Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif dalam pernyataannya di Jakarta, Minggu.
Febri menjelaskan dalam data Kemenperin tercatat adanya anomali pada kinerja industri anggota APSyFI.
Di tengah permintaan asosiasi agar pemerintah memperketat impor, justru terjadi lonjakan signifikan impor oleh anggotanya sendiri.
Data menunjukkan volume impor benang dan kain oleh perusahaan anggota APSyFI meningkat lebih dari 239 persen dalam satu tahun, dari 14,07 juta kilogram (2024) menjadi 47,88 juta kilogram (2025).
"Ada anggota APSyFI yang memanfaatkan fasilitas kawasan berikat maupun API umum, sehingga bebas melakukan impor besar-besaran. Di satu sisi, mereka menuntut proteksi, namun di sisi lain aktif menjadi importir. Ini jelas kontradiktif dengan semangat kemandirian industri," ujarnya.
Selama ini, pemerintah telah memberikan berbagai bentuk perlindungan dan instrumen fiskal bagi industri hulu tekstil, antara lain bea masuk antidumping (BMAD) polyester staple fiber (PSF) yang sudah berjalan sejak 2010 dan berlaku hingga 2027.
Selain itu, BMAD spin drawn yarn (SDY) yang berlaku hingga 2025, bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) benang dari serat sintetis yang berlaku hingga 2026, serta masih ada BMTP kain yang berlaku sampai 2027.
"Artinya, industri anggota APSyFI selama ini sudah menikmati keuntungan ganda, yaitu proteksi tarif sekaligus fasilitas impor. Namun, sayangnya tidak diimbangi dengan investasi baru maupun modernisasi teknologi," ucap Febri.
Kemenperin menegaskan kebijakan rekomendasi impor maupun perlindungan industri selalu berbasis pada prinsip keadilan dan keseimbangan antara hulu, intermediate, dan hilir.
Industri hilir yang berorientasi ekspor diberikan kemudahan agar kompetitif di pasar global, sementara pasar domestik diarahkan untuk substitusi impor sesuai verifikasi kemampuan industri nasional.
Febri menambahkan jika usulan BMAD dengan tarif 45 persen diterapkan sesuai hitungan KADI, risikonya adalah PHK hingga 40.000 pekerja di industri hilir.
"Ini akan menjadi tragedi nasional. Sedangkan potensi PHK di sektor hulu yang jauh lebih kecil masih bisa dimitigasi melalui optimalisasi serapan lokal," katanya.
Sektor tekstil pada kuartal I dan II 2025 masih tumbuh di atas 4 persen.
Hal ini merupakan sebuah capaian positif yang harus terus dijaga.
"Kemenperin berharap asosiasi industri dapat melihat kebijakan pemerintah secara objektif. Justru di tengah pertumbuhan ini, yang dibutuhkan adalah kolaborasi dan kepatuhan, bukan narasi yang menyesatkan publik," ucap Febri.
Baca juga: Kemenperin tekankan peran SDM kompeten topang kebangkitan sektor TPT
Baca juga: Revisi Permendag 8/2024 berdampak positif ke industri tekstil
Baca juga: Kemenperin siapkan kebijakan memperkuat pertumbuhan industri tekstil
Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.