Jakarta (ANTARA) - Dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, praktik tahlilan untuk mendoakan orang yang telah meninggal sering menjadi perhatian. Tradisi yang telah berlangsung lama di kalangan umat Islam ini memunculkan beragam pandangan, terutama di antara dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Kedua organisasi tersebut memiliki perbedaan dalam menyikapi tahlilan. NU mempertahankan tradisi ini sebagai bagian dari amalan yang dianjurkan, sementara Muhammadiyah memiliki pandangan berbeda dalam pelaksanaannya. Lalu, bagaimana perbedaan pandangan keduanya terhadap tahlilan? Simak pembahasannya berikut ini.
Baca juga: Hadiri tahlilan, Anies: Haji Lulung tokoh Betawi tingkat nasional
Pandangan NU: Tradisi yang berakar budaya dan sosial
Bagi sejumlah ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU), tahlilan dipandang sebagai bentuk doa bersama yang memiliki nilai sosial dan spiritual. Mereka meyakini bahwa amalan ini adalah bagian dari tradisi keagamaan yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat.
Selain itu, tahlilan juga dianggap sebagai sarana untuk mempererat hubungan antarumat Islam melalui kebersamaan dalam berdoa. Menurut pandangan NU, praktik tahlilan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah selama dilakukan dengan niat yang benar.
Selama tidak mengandung unsur berlebihan atau ritual yang tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam, tahlilan tetap dipandang sebagai amalan yang bernilai ibadah dan dapat diteruskan sebagai bagian dari kearifan lokal umat Islam di Indonesia.
Baca juga: Memahami tradisi tahlilan 3, 7, 40, dan 100 hari dalam Islam
Pandangan Muhammadiyah: Pengembalian kepada tuntunan murni
Sementara itu, Muhammadiyah memiliki pandangan yang lebih ketat terhadap praktik tahlilan. Sebagai organisasi yang dikenal dengan pendekatan reformis, Muhammadiyah berpendapat bahwa tahlilan termasuk dalam kategori bid’ah karena tidak memiliki dasar yang jelas dalam Al Quran maupun Hadis.
Mereka menekankan bahwa setiap amalan seharusnya berlandaskan pemahaman murni terhadap Al Quran dan Sunnah, tanpa menambahkan unsur-unsur yang tidak memiliki legitimasi dalam ajaran Islam. Bagi Muhammadiyah, inti dari ibadah adalah berdoa dan memohon langsung kepada Allah tanpa melalui rangkaian ritual tambahan yang belum terbukti keabsahannya dalam syariat.
Mereka berpendapat bahwa menambahkan praktik-praktik tertentu yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah dapat mengaburkan makna ibadah yang sesungguhnya. Oleh karena itu, Muhammadiyah lebih menganjurkan umat Islam untuk beribadah sesuai dengan ajaran yang telah ditetapkan dalam sumber-sumber Islam yang utama.
Baca juga: Wartawan di Maluku Utara gelar tahlilan untuk Sahril
Implikasi sosial dan budaya masyarakat Muslim Indonesia
Perbedaan pandangan ini mencerminkan ragam dinamika keagamaan di Indonesia, di mana tradisi dan modernitas kerap bertemu. Di banyak daerah, tahlilan masih sering dilaksanakan sebagai bagian dari upaya menjaga tali silaturahmi dan sebagai momen introspeksi umat.
Sementara itu, kelompok-kelompok yang mendekati Islam dengan penafsiran yang lebih literal cenderung mengkritisi praktik tersebut, mengingatkan pentingnya kembali ke sumber-sumber utama agama.
Dengan demikian, perdebatan mengenai hukum tahlilan tidak hanya mencerminkan perbedaan interpretasi terhadap ajaran Islam, tetapi juga menjadi cermin keragaman identitas keagamaan yang ada di Indonesia. Masyarakat diharapkan dapat memilih jalan yang sesuai dengan keyakinan masing-masing, dengan tetap menjaga rasa toleransi dan persatuan.
Baca juga: Polres Payakumbuh tahlilan empat hari untuk korban tragedi Kanjuruhan
Baca juga: PPP instruksikan kader shalat gaib dan tahlilan untuk Hamzah Haz
Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025