Jakarta (ANTARA) - Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori mengatakan pemerintah perlu menyesuaikan harga eceran tertinggi (HET) beras di pasaran, menyusul kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah di tingkat petani menjadi Rp6.500 per kg.
Dalam sebuah diskusi yang digelar Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) di Jakarta, Senin, Khurori menyebut penyesuaian HET sangat penting untuk menyeimbangkan insentif di seluruh rantai pasok dan menstabilkan harga beras sebagai komoditas pokok.
Menurut Khudori, ada ketidakseimbangan antara HPP gabah yang telah naik dan HET beras medium yang hanya mengalami sedikit kenaikan, jauh di bawah proporsi kenaikan harga gabah sebagai bahan bakunya.
“Tak masuk akal jika HPP gabah naik, tetapi HET beras tidak disesuaikan,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa dengan biaya produksi 1 kg gabah yang mencapai Rp4.836 per kilogram, petani memang diuntungkan dengan HPP Rp6.500, meraup keuntungan sekitar 34 persen. Namun, keuntungan ini tidak sampai ke pelaku di hilir, seperti penggiling dan pedagang beras.
Khudori menjelaskan mereka terpaksa membeli gabah dengan harga tinggi di pasar, bahkan mencapai Rp7.500—Rp8.000 per kg di beberapa tempat. Namun, saat menjual beras, mereka terikat HET yang rendah sehingga berpotensi rugi.
Kondisi ini, lanjut dia, membuat penggilingan mengurangi pasokan beras ke pasar, yang justru bisa memicu kelangkaan dan kenaikan harga beras.
Selain itu, Khudori menyebut stok beras di gudang Bulog yang melimpah tetapi minim penyaluran juga turut berkontribusi pada ketidakstabilan harga. Masyarakat pun merasakan dampaknya dengan harga beras eceran yang melampaui HET dan menjadi penyumbang inflasi selama lima bulan berturut-turut, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).
Data Panel Harga Badan Pangan Nasional (Bapanas) menunjukkan sepanjang Juni 2025, rata-rata harga beras medium di tingkat konsumen mencapai Rp13.995 per kg, melampaui HET sebesar Rp12.500 per kg. Sementara itu, rata-rata harga beras medium di tingkat produsen (penggilingan) mencapai Rp12.800 per kg, dari HPP nasional Rp12.000 per kg.
Oleh karena itu, penyesuaian HET beras dianggap sebagai langkah krusial. Khudori juga menyarankan pemerintah untuk mengintegrasikan kembali kebijakan perberasan dari hulu ke hilir, menghentikan pengadaan beras melalui skema maklon yang dinilai mahal, serta menciptakan outlet lain beras selain Bulog.
“Tugas pemerintah bukan hanya memastikan stok, tetapi juga memastikan keterjangkauan. Jadi, harga harus terjangkau,” tuturnya.
Baca juga: Harga gabah capai Rp7.500 per kg, petani mengaku tak semua diuntungkan
Baca juga: Produksi versus harga beras
Baca juga: Pengamat sebut subsidi biaya distribusi tekan kenaikan harga beras
Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.