Hilangkan tiga batu sandungan agar riset dirasakan masyarakat

1 hour ago 2
Pandemi membuktikan bahwa Indonesia mampu berinovasi dengan cepat ketika sistemnya memungkinkan

Jakarta (ANTARA) - Selama bertahun-tahun, publik Indonesia kerap mendengar keluhan serupa: Riset dilakukan di banyak lembaga, tetapi manfaatnya belum sepenuhnya terasa. Riset tampak hidup di laboratorium, namun hanya sedikit yang menjelma menjadi produk yang digunakan masyarakat.

Jurang antara temuan ilmiah dan kebutuhan publik tetap lebar. Lebih menyesakkan lagi, ketika negara membutuhkan solusi mendesak, justru tidak tersedia.

Dalam konteks ini Kepala BRIN Prof Arif Satria mengingatkan perlunya membangun kultur inovasi yang lebih produktif, kondusif, dan berorientasi hasil.

Menurut dia, Indonesia memiliki peluang besar, kapasitas talenta yang melimpah, ragam persoalan yang menuntut solusi kreatif, serta pasar domestik yang luas. Namun semua potensi itu hanya dapat ditangkap bila tata-kelola, pendanaan, dan regulasi berjalan lebih selaras.

Fenomena paling terang mengenai potensi tersebut muncul justru dalam situasi serba terbatas, yakni saat pandemi COVID-19. Dalam 2,5 bulan, Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 yang dimotori pemerintah mampu melahirkan 55 produk: dari ventilator darurat hingga laboratorium bergerak BSL-2.

Dari 55 produk itu, sembilan di antaranya langsung diproduksi dan dipakai di berbagai daerah. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan penting, mengapa inovasi bisa bergerak cepat justru ketika seluruh sumber daya dibatasi? Mengapa pada masa normal, hilirisasi begitu tersendat?

Kunci utamanya berada pada tata kelola yang berubah drastis. Dalam waktu singkat, pendanaan riset dipercepat, regulasi dipangkas, uji klinis diizinkan multi-center, akademisi dan industri dilebur melalui konsorsium, dan kebutuhan pasar sangat jelas. Saat magnet kebutuhan kuat dan prosedur diperlunak, inovasi melaju dalam hitungan pekan, bukan tahun.


Tiga sandungan

Dalam ekosistem inovasi global dikenal tiga "batu sandungan" yang membuat hasil riset sulit menyeberang ke pasar. Gambaran ini relevan dengan pengalaman periset Indonesia.

Pertama, devil's river, yaitu tahapan ketika ide masih mentah, teknologi belum stabil, biaya riset tinggi, dan risiko gagal besar. Banyak purwarupa gugur bukan karena tidak menjanjikan, tetapi karena pematangan teknologi membutuhkan dukungan teknis dan finansial yang jarang tersedia.

Kureha, perusahaan kimia Jepang, menjelaskan hal ini saat mengembangkan material PVDC pada 2010. Secara ilmiah menjanjikan, tetapi proses rekayasanya panjang dan mahal. Situasi serupa terjadi di Indonesia. Laboratorium mampu menghasilkan purwarupa, tetapi loncatan dari eksperimen ke teknologi siap uji jarang terfasilitasi.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |