Beijing (ANTARA) - Mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengungkapkan negara-negara berkembang membutuhkan gerakan kolektif untuk mengatasi perubahan geopolitik yaitu munculnya berbagai perang antarnegara maupun penerapan tarif sepihak oleh Amerika serikat.
"Kita mengalami kekalutan geopolitik, baik di bidang perdamaian dan keamanan maupun ekonomi dan pada saat yang sama, tatanan dunia yang didasarkan piagam PBB juga melemah sehingga memerlukan upaya kolektif untuk mengatasi hal tersebut," kata Hassan Wirajuda di Beijing kepada Antara pada Rabu (2/7).
Perang yang dimaksud Hassan antara lain perang Rusia-Ukraina, ketegangan di Timur Tengah termasuk serangan Israel ke Palestina yang berlarut-larut, konflik Israel yang didukung Amerika Serikat melawan Iran hingga perang singkat India-Pakistan. Menurut Hassan, masih ada juga konflik lama yang belum tampak tuntas seperti di Yaman, Libia, Somalia, Sudan maupun Sudan Selatan.
"Indonesia dan negara-negara lain berkepentingan adanya 'minimum order', tidak bisa tidak, harus ada yaitu 'global governance'. Banyak pihak boleh mengecam PBB tapi bayangkan dunia tanpa PBB, boleh mengecam 'global governance' tapi bayangkan dunia tanpa tatanan dunia. Jadi memerlukan upaya kolektif, Indonesia, China dan negara-negara lain masih menyuarakan itu karena dirugikan akibat perbuatan negara-negara besar," jelas Hassan.
Belajar dari sejarah, Hassan mengungkapkan, pada masa perang dingin, sudah ada contoh-contoh gerakan kolektif. Misalnya di bidang politik adalah munculnya Gerakan Non Blok (GNB) pada 1961 yang menyuarakan kelompok negara yang tidak mau berpihak dengan Pakta Warsawa untuk Eropa Timur dan NATO untuk Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Contoh lain adalah di bidang ekonomi dengan lahirnya Kelompok 77 (G77) pada periode 1970-an yang terdiri dari negara-negara berkembang dan China sebagai bentuk protes atas eksploitasi sumber daya alam negara-negara berkembang oleh perusahaan-perusahaan multinasional milik negara maju.
"Sayangnya sekarang belum ada upaya kolektif. Semua bicara tentang kebijakan tarif unilateral Presiden AS Trump yang dipaksakan kepada semua negara, tapi apa ada upaya kolektif menghadapi hal itu? Masing-masing negara dibiarkan bernegosiasi sendiri dengan AS yang posisinya lebih kuat, kecuali dengan China yang memang punya pengaruh besar," jelas Hassan.
Bahkan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia maupun Vietnam melakukan negosiasi bilateral dengan AS meski posisi Indonesia lebih lemah, dan ASEAN pun tidak punya suara kolektif.
"Jadi ada keperluan untuk menyuarakan secara kolektif suara negara-negara yang menjadi korban," ungkap Hassan.
Dalam upaya negosiasi tarif dengan AS, Indonesia yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah beberapa kali mengadakan pertemuan dengan Menteri Keuangan AS Kenneth Homer Bessent dan Ketua United States Trade Representative (USTR) Jamieson Greer untuk membahas agar AS mengurangi tarif impor atas Indonesia yang ditetapkan sebesar 32 persen.
Namun dalam perjalanannya, Airlangga menyebut tarif impor yang dikenakan terhadap Indonesia bisa mencapai angka 47 persen, terutama untuk produk tekstil dan garmen sebagai penjumlahan tarif dasar dengan tambahan tarif sebesar 10 persen yang berlaku selama masa 90 hari.
Airlangga mengatakan permintaan utama AS ke Indonesia ialah untuk menyeimbangkan neraca perdagangan kedua negara, di mana RI tercatat surplus 18-19 miliar dolar AS.
Selain itu USTR menyoroti Peraturan BI Nomor 21/2019. Dalam peraturan itu disebutkan Indonesia menetapkan standar nasional Quick Response Indonesian Standard (QRIS) untuk semua pembayaran yang menggunakan kode QR di Indonesia.
Baca juga: Hassan Wirajuda: 'Bandung Spirit' masih relevan, dasar Global South
Baca juga: Diplomat proyeksikan tatanan dunia makin melemah akibat tarif Trump
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Arie Novarina
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.