Jakarta (ANTARA) - Menteri Luar Negeri (Menlu) RI periode 2001-2009, Hassan Wirajuda menilai bahwa Bandung Spirit yang lahir dari Konferensi Asia Afrika (KAA) pada April 1955, masih relevan hingga saat ini dan dapat menjadi dasar ideologi Global South atau Selatan Global.
“Semangat Bandung merupakan cikal bakal dari apa yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Non-Blok yang didirikan pada 1961. Saya percaya bahwa semangat Bandung juga bisa menjadi dasar ideologi dari apa yang kini kita sebut sebagai Global South,” kata Hassan dalam acara diskusi publik di Jakarta, Jumat.
Hassan Wirajuda menuturkan bahwa Bandung Spirit pada dasarnya adalah perjuangan bersama dari negara-negara yang berada di bawah penjajahan asing untuk meraih kemerdekaan.
Hassan menilai Bandung Spirit sebagai cerminan dari nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam konstitusi, yang untuk pertama kalinya di dunia, para pendiri bangsa menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa.
Berbeda dengan deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat pada 1776 yang hanya menyatakan kemerdekaan untuk rakyat Amerika Serikat, para pendiri bangsa Indonesia, menyatakan kemerdekaan adalah untuk semua bangsa, kata Hassan.
“Lebih dari itu, konstitusi memberi mandat kepada kita untuk memberantas dan menghapuskan kolonialisme di atas muka bumi. Maka, Konferensi Bandung adalah proyeksi dari nilai-nilai fundamental tersebut kepada dunia, dimulai dari Asia dan Afrika,” ucapnya.
Indonesia pun disebutnya selalu konsisten dalam memperjuangkan kemerdekaan negara-negara di Asia dan Afrika, tidak hanya melalui pidato atau pernyataan, tetapi juga melalui tindakan nyata.
Lebih lanjut, Hassan menuturkan bahwa tatanan dunia yang sedang dalam kekacauan — terlebih setelah adanya kebijakan yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump — membuat berbagai pihak mempertanyakan tanggapan dari Global South.
Namun, dia menilai bahwa negara-negara yang tergabung di Global South, harus terlebih dahulu mengorganisasi diri, sebelum dapat memberikan dampak positif terhadap reformasi tatanan global.
“Kita harus dengan jelas memahami apa yang dimaksud dengan Global South. Apakah itu berarti negara-negara atau ekonomi yang mayoritas berada di belahan bumi selatan, yaitu di bagian selatan garis khatulistiwa? Atau sebaliknya, mereka yang mengeklaim memperjuangkan Global South justru berasal dari negara-negara utara?,” katanya.
Menurutnya, Gerakan Non-Blok jauh lebih terorganisir dibandingkan Global South yang masih belum jelas apakah merupakan sebuah gerakan atau organisasi. Begitu juga jika dibandingkan dengan G77 yang hadir dengan konsep kuat untuk dipromosikan di tingkat nasional.
“Itulah mengapa kita harus sangat berhati-hati ketika berbicara tentang apakah Global South harus mendorong reformasi tatanan dunia. Saya tidak menolaknya, tetapi setidaknya kita harus memahami situasi saat ini dan melihat bahwa ada peluang bagi negara-negara Selatan untuk mempersiapkan dan mengorganisasi diri dengan lebih baik,” ujarnya.
Baca juga: Marty Natalegawa: KAA 1955 hasil kepemimpinan transformatif bagi dunia
Baca juga: Menlu RI akan suarakan solidaritas negara berkembang dalam KTT BRICS
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2025