Papua (ANTARA) - Pube, siswa kelas 1 SD YPK Sion, Nabire, Papua Tengah, mengacungkan tangan dengan antusias, saat ditanya akan menjadi apa di masa depannya kelak.
"Jadi tentara," ujarnya.
Saat diminta berfoto, usai menerima Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dibagikan siang itu, Pube tidak mau berpose dengan gaya biasa di depan kamera. Telunjuk dan kelingking tangan kirinya maju ke depan perut, melambangkan gestur khas para penggemar musik metal. Tengil, namun berani.
Sehari-hari Pube berjalan kaki ke sekolah mengenakan seragam lengkap dan bertopi. Jarak rumah dengan sekolahnya tidak terlalu jauh. Ia mengaku senang mendapatkan makanan gratis dari sekolah karena bisa ramai-ramai makan bersama teman-temannya.
Jiwa kepemimpinan sudah tampak dalam diri Pube. Sebagai siswa yang mengacungkan tangan pertama kali, hari itu, semangatnya menular pada teman-teman lainnya. Mereka satu persatu mengacungkan tangan dan berbicara lantang tentang cita-citanya.
Ada yang ingin menjadi dokter, perawat, juga guru. Cita-cita mulia yang akan diisi oleh pengabdian kepada negara sepanjang hayat.
Di kelas yang riuh dan cukup panas, siang itu, Pube bersama sekitar 20 murid lainnya terlihat tidak sabar menunggu pemberian Makan Bergizi Gratis secara simbolis oleh para pejabat yang hadir. Satu kotak makanan itulah yang akan menentukan peningkatan tingkat partisipasi siswa di sekolah.
Meski masih banyak yang perlu diperbaiki, dengan tantangan-tantangan berupa penolakan di sebagian Tanah Papua, nyatanya para siswa itu senang ketika menerima satu kotak makanan berisi nasi, ayam kecap, oseng wortel, telur balado, dan semangka.
Tanpa sarapan
Angka partisipasi sekolah (APS) di Papua memang tercatat masih rendah. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 yang disampaikan oleh Kepala Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Provinsi Papua Junus Simangunsong, APS 16-18 tahun di dua provinsi di Papua masih di bawah 70 persen. Papua Tengah tercatat memiliki APS paling rendah, yakni 48 persen, disusul Papua Pegunungan yang hanya 56 persen.
Sementara itu, beberapa kabupaten/kota di Papua memiliki angka partisipasi sekolah 13-15 tahun yang masih jauh di bawah rata-rata nasional, yakni Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah, sebesar 32 persen; Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, 52 persen; Nduga, Papua Pegunungan, 57 persen; dan Deiyai, Papua Tengah, 60 persen.
Wali Kelas 5 Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Kristen (SD YPK) Betlehem, Wamena, Provinsi Papua Pegunungan, Aisa Rumbino, menyatakan bahwa anak-anak didiknya seringkali pingsan saat upacara di Hari Senin karena belum sarapan.
Anak-anak itu, sebagian juga berjalan kaki cukup jauh karena kondisi orang tuanya yang tidak memungkinkan mengantar mereka ke sekolah. Mama-mama dan papa-papa itu, sejak pagi sudah harus mencari nafkah demi membiayai kehidupan keluarga mereka. Akibatnya, anak-anak yang datang tanpa sarapan itu seringkali tidak fokus, saat menerima pelajaran, atau sering sakit, sehingga tingkat partisipasi mereka di sekolah pun menurun.
Kepala SD Negeri Inpres Waroki Maria Goreti Gunu juga mengutarakan bahwa banyak anak sekolah yang pingsan hingga tidur di dalam kelas karena tidak sarapan. Maka, sebelum program MBG, sekolahnya telah terlebih dahulu menerapkan makan bergizi yang dikelola oleh para komite sekolah.
Maria menyiapkan anggaran yang tidak besar dari sekolahnya, cukup Rp1.000 yang ditabung setiap hari untuk memberikan anak-anak itu makan yang layak, dengan pengelolaan yang sepenuhnya diberikan kepada sekolah dan komite.
“Pembiayaan tidak ada biaya khusus. Jadi kami selipkan dari uang belanja. Satu hari Rp1.000. Dari uang seribu itu, kami kumpul, berapa yang kami dapat dalam sebulan, itu yang dikasih, tidak ada anggaran khusus. Jadi pintar-pintar mengelola, dan pastikan aman, karena ahli gizi kan datang ke sekolah, jadi kami kalau salah potong sayur saja, langsung ditegur,” katanya, ketika berbincang dengan ANTARA.
Setiap hari, ahli gizi datang ke sekolah untuk melihat berapa serat, protein, maupun karbohidrat yang perlu disiapkan. Dari program makan sehat tersebut, menurutnya, tingkat perekonomian masyarakat juga secara otomatis meningkat di pasar karena pembelian bahan yang dilakukan terus-menerus sejak Senin hingga Sabtu.
Inisiatif tersebut juga termasuk program dari Kementerian Pendidikan yang bekerja sama dengan Pemerintah Jepang. Para guru di sekolah khawatir jika siswa pergi ke kantin, maka mereka akan membeli jajanan atau makanan yang kurang higienis dan tidak sehat. Bahkan, tidak jarang anak-anak juga datang ke sekolah tanpa uang saku dari orang tua karena sebagian besar adalah dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Dari program tersebut, partisipasi sekolah anak mulai meningkat, dengan tingkat kehadiran yang meningkat drastis. Setelah ada makanan, sudah tidak ada lagi siswa yang pingsan dan mereka ramai-ramai datang ke sekolah.
Untuk itu, program MBG juga mesti mempertimbangkan tata kelola untuk diterapkan di Papua. Pemerintah perlu mempertimbangkan agar pengelolaan diserahkan ke sekolah, komite, dan orang tua, tentu dengan pemantauan dan evaluasi dari ahli gizi yang setiap hari hadir ke sekolah, untuk menjamin mutu makanan yang dibagikan.
Berbagai penolakan yang terjadi, menurut Maria, merupakan akibat dari tata kelola yang belum jelas, sehingga penting untuk melibatkan orang tua dan masyarakat 100 persen dalam program Makan Bergizi Gratis di Papua.
Memberdayakan sekolah
Berbagai masukan dari kepala sekolah hingga dinas-dinas pendidikan di Provinsi Papua, Papua Tengah, hingga Papua Pegunungan, mengisyaratkan bahwa MBG di Papua lebih baik melibatkan orang tua murid, hingga komite sekolah.
Tenaga ahli bidang sistem dan tata kelola pada Badan Gizi Nasional (BGN) Niken Gandini mengemukakan, pihaknya akan terus menyesuaikan pemberian MBG sesuai dengan potensi di masing-masing wilayah. Apabila memang lebih baik dikelola oleh orang tua siswa atau komite sekolah, maka BGN akan menyesuaikan.

Pengelolaan MBG oleh orang tua dan komite sekolah memang lebih baik karena mereka tentu akan lebih memahami kebutuhan anaknya sendiri. Sebelumnya, pemerintah juga pernah menyelenggarakan program serupa, yakni program gizi anak sekolah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang berlangsung pada 2016-2019.
Bedanya, program tersebut memiliki pola memasak di sekolah, di mana setiap sekolah menyediakan dapur sederhana menggunakan ruang sekolah yang bisa digunakan untuk dapur dan melibatkan para ibu guru serta orang tua siswa. Perwakilan kelas 1-6 SD dilatih menjadi koki untuk program tersebut.
Bahan-bahan pangan juga menyerap produksi dari petani setempat, dengan pemasok dari orang tua siswa sendiri. Dengan begitu, maka tujuan di bidang ekonomi dari program MBG akan tercapai, yakni swasembada pangan melalui pemanfaatan bahan pangan lokal yang akan meningkatkan kesejahteraan petani dan pelaku UMKM.
Di Kota Jayapura, misalnya, berdasarkan data dari dinas pendidikan, terdapat 62.453 siswa dari PAUD hingga SMA, baik swasta maupun negeri. Untuk bisa menyasar puluhan ribu siswa tersebut, dibutuhkan sedikitnya 20 satuan pemenuhan pelayanan gizi (SPPG), sehingga melalui kebijakan tata kelola dan pemanfaatan kearifan lokal yang baik, maka dapat memacu potensi dari produk-produk lokal dari Kota Jayapura.
Tidak hanya pihak sekolah, pelibatan lembaga masyarakat adat (LMA) yang menjadi jantung pemberdayaan masyarakat, hingga kesejahteraan sosial di Papua, juga dirasa perlu. Untuk itu, Staf Khusus Menteri Pertahanan Lenis Kogoya telah membuat kesepakatan bersama para ketua LMA agar para pengurus dan anggotanya dilibatkan dalam mengawasi MBG di Papua.
Melibatkan LMA dalam MBG, tentu berpotensi meningkatkan penyerapan tenaga kerja di tiap-tiap SPPG, sehingga mampu meningkatkan perekonomian warga setempat. Melalui mekanisme kerja yang tepat, maka LMA-LMA ini dapat berdaya dan saling berkolaborasi untuk mewujudkan kesejahteraan di Tanah Papua.
Sepiring kedaulatan
Program “hajatan” dari Presiden Prabowo Subianto berupa Makan Bergizi Gratis ini tentu tidak serta-merta dapat membawa dampak yang instan. Butuh proses panjang yang perlu ditempuh, perbaikan serta evaluasi di sana-sini, termasuk menghadapi penolakan oleh sebagian warga di tanah Papua.
Pada Pertengahan Februari 2025, ribuan siswa, mulai dari SMP, SMA, hingga universitas di beberapa wilayah mulai dari Kabupaten Deiyai, Dogiyai, Mimika, Provinsi Papua Tengah; Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua; Yalimo, Jayawijaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan, mengelar demonstrasi menolak Makan Bergizi Gratis (MBG).
Mereka menyuarakan bahwa di Papua, pendidikan gratis lebih penting ketimbang Makan Bergizi Gratis. Selain itu, di beberapa daerah konflik, masyarakat menuntut agar wewenang pemberian MBG diserahkan kepada yayasan, hingga masyarakat adat.
Demonstrasi yang melibatkan siswa sekolah yang dilaksanakan saat jam belajar-mengajar tersebut tentu berpotensi mengganggu ketenteraman dan mengancam masa depan mereka. Di tanah Papua yang masih rawan dengan konflik, pemberian MBG tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang represif, tetapi harus sepenuhnya melibatkan masyarakat adat, termasuk LMA, sekolah, hingga orang tua siswa sendiri.

Sosialisasi terus-menerus dilakukan oleh BGN, Kementerian Pertahanan, Kementerian Pendidikan, Dasar, dan Menengah (Kemendikdasmen), juga Kementerian Kesehatan, sehingga program ini mampu meningkatkan angka partisipasi sekolah dan menurunkan stunting.
Di tanah Papua, yang berdaulat adalah masyarakat Papua. Mereka perlu terus dilibatkan dalam diskusi yang melibatkan sepiring ubi, sagu, hingga kopi. Berbicara dengan masyarakat Papua perlu pendekatan-pendekatan yang lebih komunal, karena representasi mereka sebagai kelompok masyarakat adat yang merupakan bagian dari Tanah Air perlu terus didengar.
MBG di Papua lebih dari sekadar membagikan makan secara gratis, karena lebih dari itu, dampak positif yang dihasilkan jika melibatkan orang-orang asli Papua, bisa berlipat ganda, termasuk mewujudkan kedaulatan ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Di setiap SPPG, mama-mama akan berdaulat memasak, bersama LMA yang mengawasi, dan komite sekolah serta orang tua siswa yang juga berdaulat menentukan sendiri model MBG seperti apa yang paling cocok di daerahnya.
Para siswa yang kenyang memang tidak menjamin akan langsung meningkat prestasinya, tetapi setidaknya, di Papua, tingkat partisipasi mereka untuk datang ke sekolah dan lebih fokus dalam menyerap pembelajaran akan lebih baik.
Dengan begitu, representasi mereka di berbagai profesi di masa depan tentu akan lebih baik, seperti Pube, yang mungkin dalam waktu sekitar 30 tahun lagi, akan menjadi seorang Jenderal.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2025