Jakarta (ANTARA) - Hanafi tak menghiraukan perih dari luka di mata kanannya yang baru selesai dioperasi dari penyakit katarak, hanya untuk menyambut hangat kedatangan para tamu yang telah dinantikannya sepanjang awal tahun ini.
Menandakan betapa antusias pria bersuara serak ini menyambut momentum itu, maka ia sampai menunda untuk meneteskan obat ke matanya yang sakit, padahal dokter menyarankan obat tersebut harus diteteskan sebanyak enam kali setiap hari. Namun, sore itu saran dokter seolah dihiraukannya.
Hanafi Yoseph (65) merupakan seorang Bruder di Biara Santo Yosef, Gereja Kristus Raja, Kota Ende, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.
Biara tua tersebut adalah milik anggota Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD) yang sebagian bangunannya kini, diresmikan untuk menjadi situs wisata sejarah yang dinamai Serambi Soekarno. Di sinilah tempat berlangsungnya pergulatan intelektual Sukarno selama diasingkan ke Ende, serta kisah persahabatannya dengan dua orang misionaris SVD asal Belanda.
Hubungan akrab antara dua orang misionaris SVD asal Belanda yang sedang menempuh pendidikan untuk menjadi imam gereja katolik (Pastor) dengan Bung Karno selama ia diasingkan di Kota Ende, inilah yang dikisahkan sebagai cikal-bakal lahirnya Pancasila.
Di lingkungan gereja, Hanafi dikenal dengan nama Bruder Simplisius yang sekaligus sebagai pemandu sejarah keberadaan Sukarno di Ende. Kepada tamu, ia mengenalkan diri dengan nama aslinya sebagai Hanafi.
Tanpa canggung menggunakan kacamata mode berlensa coklat besar karena matanya sedang diperban, ia bolak-balik menyiapkan beberapa buah buku terkait Sukarno untuk diceritakan kepada rombongan jurnalis dan relawan kemanusiaan dari Jakarta itu.
Rombongan tamu yang salah satunya adalah pewarta ANTARA ini, diminta oleh sang bruder duduk dengan rapi tepat di hadapan patung pahatan kayu Presiden Sukarno yang memakai baju safari dan kopiah ikoniknya dengan posisi sedang duduk bersila seolah menyaksikan diskusi sore menjelang berbuka puasa itu.
Bak seorang storyteller kawakan, Hanafi, membuka dengan pertanyaan, apa yang berat dari menjaga warisan sejarah?. Belum sempat pertanyaan dijawab ia menyeletuk, yaitu "merawatnya sehingga terus memerikan manfaat kebaikan."
Mengutip pepatah ‘"tak kenal maka tak sayang," lantas dia menjelaskan bahwa SVD merupakan sebuah kongregasi misionaris Katolik yang didirikan pada tahun 1875 oleh Santo Arnoldus Janssen di Steyl, Belanda. SVD sudah mulai berkarya di Indonesia pada tahun 1913, dan Provinsi SVD Ende termasuk yang tertua di antara empat daerah lainnya, 1914.
Pertemuan SVD dengan Sukarno berhubungan dengan masa pengasingan Sukarno di Ende (1934-1938) oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada masa itu, para misionaris Provinsi SVD Ende memiliki peran dalam kehidupan Sukarno, terutama dalam bidang intelektual dan spiritual.
Pada era itu, anak didik Pendiri Organisasi Sarekat Islam Haji Oemar Said Tjokroaminoto ini dianggap seorang pemuda yang berbahaya oleh para petinggi kolonial Belanda, karena mengancam stabilitas misi penjajahan mereka sehingga harus dibuang ke luar Pulau Jawa.
Semua bermula saat Sukarno muda mendirikan partai politik yang memperjuangkan kemerdekaan bangsanya secara radikal dengan asas tanpa kompromi terhadap Belanda. Dari situ, ia ditangkap oleh tentara Belanda dan ditahan di penjara salah satunya penjara Sukamiskin pada 1930.
Bukannya meredam tapi pergerakan Sukarno dalam menyebarkan semangat nasionalisme semakin tajam setelah bebas dari penjara. Sikap ini memaksa Belanda menangkap dan membuangnya ke daerah terpencil sebagaimana yang juga terjadi pada sahabatnya Sutan Sjahrir, Sayuti Melik, menyusul Muhammad Hatta, dan beberapa tokoh pergerakan nasional lainnya.
Bila para sahabatnya itu diasingkan secara terpisah ke Boven Digoel, Papua, maka Sukarno juga dibuang oleh pemerintah kolonial ke daerah terpencil di sebelah timur Pulau Jawa, yakni Ende, sebuah kota kecil di semenanjung Pulau Flores.
Sukarno menginjakkan kaki pertama kali di Pelabuhan Ende, pada 14 Januari 1934. Di kota ini dia tidak ditahan dalam sel penjara tapi dibiarkan beraktivitas menempati sebuah rumah kompleks militer kolonial, dengan pengawasan ketat dari intelijen yang berkeliaran.
Berdasarkan literatur yang dipelajari Hanafi, ia menyebutkan bahwa Sukarno sebagai seorang cendekiawan Muslim berjiwa nasionalis cukup mengalami frustasi karena ulah Belanda yang terus menguntitnya. Rasa frustasi itu perlahan luntur ketika Sukarno bertemu dengan pastor Geradus Huijtink, sosok misionaris Provinsi SVD Ende yang paling sering disebut sebagai teman diskusinya.
Huijtink dikenal memiliki perpustakaan lengkap di dalam biara yang menyimpan berbagai karya filsafat, politik, dan teologi. Namun karena ruangan itu bukan untuk orang luar, maka Sukarno hanya dipinjamkan buku dan membacanya di serambi biara. Bersama dengan Huijtink yang kala itu sebagai frater, Sukarno memperluas pemikirannya mengenai nilai-nilai universal serta keberagaman.
Tidak hanya itu, pastor Dr. Johannes Bouma yang kala itu sebagai Pemimpin Provinsi SVD Ende juga turut menjadi bagian dari lingkaran diskusi tersebut. Dia pula yang memberikan keleluasaan bagi Sukarno untuk mengakses semua buku perpustakaan biara.
Sukarno yang kala itu berusia 33 tahun banyak menghabiskan harinya untuk membaca segala jenis buku yang ada di serambi biara. Setelah membaca yang biasanya sore hari menjelang senja dia akan duduk di bawah pohon sukun yang rindang di tepi pantai Kotaraja, tak jauh dari rumah pengasingan dan biara untuk berkontemplasi. Hampir semua biarawan sering melihat Sukarno larut dalam diskusi dengan Pastor Huitjink di sana, dan itu membuat para biarawan yakin bahwa Sukarno sedang membangun pondasi untuk sesuatu yang besar.
“Bayangkan bagaimana aura Sukarno, ia sampai dipanggil Mr. President di sini betapa tidak, negara-negara cuma negara dan kemerdakaan ini yang diucapkannya,” ujar Hanafi dengan suara menekankan.

Hanafi mengakui bahwa ia sangat mengagumi pemikiran Sukarno. Kekagumannya itu makin kuat sejak menjadi anggota Provinsi SVD Ende pada tahun 1992. Di sini ia memperoleh banyak pengetahuan seputar persahabatan Sukarno dengan para misionaris dan umat Katolik setempat.
Salah satu literatur yang berkembang di Gereja Kristus Raya menyebutkan bahwa pastor Johannes Bouma terus mendorong Sukarno untuk memerdekakan Indonesia. Meski berasal dari Belanda, Bouma sama sekali tidak sejalan dengan arah politik para petinggi pemerintahan Hindia Belanda, yang ingin menguasai penuh bangsa dan wilayah Hindia Belanda.
Dalam hal ini, Hanafi berpendapat bahwa Bouma berpegang pada Ensiklik Rerum Novarum dari Paus Leo XIII, yang membawa ajaran sosial gereja dimana kaum buruh berhak merdeka, karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa.
Setelah itu, di lain kesempatan di serambi biara ini pula, kepada Huijtink, Sukarno menegaskan kemerdekaan merupakan hal yang mutlak dan menjadi misi sekaligus arah perjuangannya sampai rela hidup menderita di pengasingan. Dalam desain negara yang dicanangkan Sukarno ketika itu, Indonesia berdasarkan dengan nuansa keagamaan Islam yang mungkin terlalu eksklusif.
Mendengarkan pernyataan itu Huijtink cukup kagum, bahwa sudah sejauh itu Sukarno memikirkan masa depan negaranya. Namun untuk menyempurnakan gagasan tersebut Huijtink pun bertanya, "di mana tempat bagi yang beragama Hindu atau kami yang tidak menganut Islam?" Pertanyaan itu membuka cakrawala berpikir Sukarno dan mendorongnya untuk merumuskan dasar negara yang bisa menyatukan seluruh bangsa.
Cukup disayangkan diskusi konstruktif antara Sukarno dengan para pastor itu tidak meninggalkan catatan tertulis sebagai bukti otentik, karena semua perumusan pancasila di Ende hanya dilakukan secara verbal dan disaksikan pandangan mata saja.
Namun, Hanafi mengatakan, beberapa risalah yang mengarah pada bukti rumusan Pancasila di Ende oleh Sukarno ada tersimpan di Seminari Tinggi Redalero di Kabupaten Sikka, yang ditulis misionaris Belanda menggunakan bahasa Belanda dan ada juga yang menjadi arsip Koninklijk Instituut voor Taal-,Land-en Volkenkunde (KITLV) di Leiden, Belanda.
“Beliau merenungkan hasil diskusinya dengan para pastor, di pantai Kotaraja, di bawah pohon sukun yang sekarang dinamai Taman Pancasila, itu memang ada. Hasil bacaan dari buku-buku, pengamatannya dengan masyarakat yang menjadi teman sepergaulannya waktu ada disini, lalu itu semua menjadi macam ramuan, sampai itu ditulisnya dan dicetuskannya di Jakarta, 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI. Pancasila dasar negara,” kata Hanafi.

Serambi Soekarno
Untuk merawat warisan intelektual Sukarno dan pastor, maka biara yang menyimpan berlusin kisah perjuangan dan transformasi pemikiran itu kini telah disulap menjadi situs wisata sejarah, Serambi Soekarno.
Diresmikan pada 14 Januari 2019 oleh Pater Lukas Jua, Kepala Provinsi SVD Ende, situs yang lingkungannya sejuk karena berada dibukit yang rimbun dengan pepohonan-bunga ini menjadi pusat pembelajaran bagi generasi muda tentang nilai-nilai persatuan dan toleransi.
Serambi Soekarno, yang terletak di kompleks Biara Santo Yosef, Gereja Kathedral Ende, kini dilengkapi dengan pojok baca, serta lukisan yang menggambarkan momen-momen diskusi Sukarno dengan kedua pastor, hingga naskah ke-12 tonil ciptaan Sukarno yang menginspirasi.
Di samping itu, situs ini juga rutin mengadakan seminar dan diskusi, terutama selama bulan suci Ramadhan, yang menghadirkan rombongan mahasiswa dan kelompok keagamaan dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri.
Baca juga: Kemenparekraf buat wisata sejarah Pancasila ke Kabupaten Ende

Berdasarkan catatan sejarah yang ada, selama pengasingannya di Ende, Sukarno terutama tercatat memiliki interaksi yang intens dengan komunitas Katolik, khususnya melalui para misionaris dari SDV.
Di wilayah Ende, pengaruh dari para misionaris ini cukup dominan dalam kehidupan intelektual dan spritualnya, sehingga sebagian besar dokumentasi sejarah menekankan peran para misionaris itu.
Meski demikian, perlu dicatat bahwa di Ende, seperti banyak daerah di Indonesia, kala itu sudah ada komunitas Muslim yang menjalankan kegiatan keagamaan. Namun, tidak ada ada bukti kuat bahwa Sukarno terlibat dalam interaksi mendalam dengan tokoh-tokoh ulama atau kiai di sana.
Sukarno dikenal sebagai sosok yang menghargai pluralisme dan mungkin saja dalam kesempatan tertentu selama empat tahun sembilan bulan berada di Ende, (Sukarno meninggalkan Ende 18 Oktober 1938 untuk diasingkan ke Bengkulu) ia mendapatkan masukan dari masyarakat Muslim setempat. Akan tetapi, interaksi tersebut tidak terekam secara signifikan dalam catatan sejarah, berbeda dengan pengaruh yang didapatkan Sukarno dari para misionaris Katolik.

Baca juga: Menelusuri jejak Bung Karno di Ende
Meneguhkan hubungan lintas agama
Biara Santo Yosef berkomitmen untuk memelihara warisan ini, karena kehidupan di Ende tidak hanya diwarnai oleh interaksi dengan para misionaris Katolik, tetapi juga oleh hubungan erat antara SVD dan komunitas Muslim setempat. Di tanah Flores, keberagaman agama telah hidup berdampingan sejak lama. Islam memasuki Ende melalui jalur perdagangan dan dakwah sejak abad ke-16, dengan Masjid Ar-Rabithah sebagai saksi kehadiran dan penyebaran Islam.
Bruder Simplisius menceritakan bahwa kehadiran Sukarno semakin memperkuat keyakinan para frater-bruder di Biara Santo Yosef, untuk menjaga hubungan baik dengan seluruh lapisan masyarakat. Bahkan hingga sekarang, mereka aktif mengirimkan anggota untuk menjadi guru di pondok pesantren atau sekolah umum pemerintah. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Walisanga, Ende, yang didirikan Haji Mahfud Ek pada 1981.
Kiprah Biara Santo Yosef memang bukan hanya tentang pendidikan agama, tetapi juga tentang membangun jembatan antarumat. Bruder ingin memastikan bahwa toleransi dan kebersamaan terus terjaga, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Sukarno sebagai bapak proklamator kemerdekaan.
Selain mengirimkan guru ke pesantren, kerja sama lintas agama juga terwujud melalui berbagai kegiatan bersama, seperti perayaan hari besar keagamaan, diskusi antarkelompok, serta program sosial yang melibatkan umat Katolik dan Muslim.
Di Ende toleransi bukan sekadar kata, tetapi sebuah kenyataan yang hidup. Umat Muslim dan Katolik saling mendukung, baik dalam urusan pendidikan, pernikahan, maupun kegiatan keagamaan lainnya.
Sebagai seorang bruder yang ditahbiskan menjadi rohaniwan yang menjalani kaul kemiskinan, selibat dan ketaatan, Hanafi menyakini itulah yang membuat komunitas Katolik di Ende tetap harmonis sampai saat ini, dan menjunjung tinggi kelima butir mutiara Pancasila yang diwariskan Sukarno sebagai landasan berbangsa dan bernegara.
Baca juga: Festival Pesona Kebangsaan di Ende diharapkan jadi wisata sejarah
Baca juga: Ende tonjolkan tiga ikon selama bulan Soekarno

Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025