Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengemukakan perlunya guru dan orang tua menguasai literasi digital sebelum mendidik anak.
"Kita perlu bersama-sama mengambil langkah nyata untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan ramah bagi anak dengan upaya pencegahannya, caranya dengan literasi digital, tingkatkan pengasuhan yang positif, artinya literasi digital tidak hanya kepada si anak, tetapi juga kepada orang tua, pendamping, serta pendidik," katanya di Jakarta, Rabu.
Dalam rangkaian memperingati Safer Internet Day 2025, Woro juga menekankan pentingnya orang tua, guru, pendamping, serta pendidik membangun komunikasi yang lebih baik dan terbuka kepada anak-anaknya.
"Berdasarkan data, tidak sampai 40 persen orang tua memiliki pengetahuan yang cukup tentang internet untuk bisa membantu anak-anak mereka menggunakan internet secara aman. Jadi ada keprihatinan juga tentang keselamatan anak di internet, tetapi tidak lebih dari 40 persen memiliki pengetahuan yang cukup," ujar dia.
Ia juga mengemukakan pentingnya penguatan sistem pengawasan, yang selama ini sebenarnya sudah dibangun tetapi belum diinformasikan dengan baik.
"Jadi bagaimana sistem yang sedang dibangun bisa dikomunikasikan dan diaplikasikan dengan baik untuk bisa mengawasi anak-anak kita, karena bukan berarti internet selalu memberikan dampak negatif, ada dampak-dampak positif yang bisa kita dapatkan dari internet," ucapnya.
Baca juga: Wamenekraf tekankan pentingnya kuasai bahasa dunia digital
Baca juga: Menkomdigi sebut literasi digital dan aktivitas fisik harus imbang
Woro memaparkan kajian dari pusat kajian tentang rentang perkembangan manusia Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM), DI Yogyakarta, di mana penggunaan gawai dan akses internet punya dampak positif terhadap perkembangan kognitif anak.
"Bukan berarti internet selalu buruk, melainkan juga bisa memberikan dampak positif, termasuk bagaimana anak-anak bisa memperluas wawasan mereka, meningkatkan kreativitas, mengembangkan keterampilan komunikasi. Jadi, memang kita harus bisa meningkatkan manfaat penggunaan internet, bukan malah meningkatkan dampaknya," tuturnya.
Ia menegaskan, keamanan digital bukan hanya tanggung jawab individu, melainkan tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan negara.
"Perlu semangat bersama dan kolaborasi dari berbagai pihak, baik itu pemerintah, non-pemerintah, termasuk anak-anak untuk dapat mewujudkan ruang digital yang lebih sehat, aman, dan mendukung anak-anak kita," kata Woro.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), sepanjang 2023 hingga Juni 2024, sebanyak 15.186 anak menjadi korban kekerasan seksual, sementara 366 anak mengalami eksploitasi seksual. Selain itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap bahwa 24.049 anak berusia 10 hingga 18 tahun diduga terlibat dalam prostitusi, dengan 130.812 transaksi dan total perputaran uang mencapai Rp127 miliar.
Pelaku kekerasan dan eksploitasi seksual memanfaatkan media sosial dan gim daring sebagai sarana untuk mendekati, memperdaya, dan mengeksploitasi anak-anak di dunia digital.
Selain eksploitasi seksual, judi daring kini menjadi ancaman serius bagi anak-anak dan remaja. PPATK mencatat hampir 500.000 pelajar dan mahasiswa di Indonesia telah terlibat dalam aktivitas judi online, dengan 47.400 anak di bawah 10 tahun dan 440.000 anak usia 10 hingga 20 tahun menjadi pemain.
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2025