Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Berencana (Kemendukbangga) menegaskan bahwa Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK) 2025–2029 siap menjadi panduan strategis bagi kementerian/lembaga (K/L) dalam menjalankan program Keluarga Berencana (KB) secara terarah, efektif, dan terintegrasi.
Wakil Menteri Kemendukbangga Isyana Bagoes Oka di Jakarta, Kamis, mengatakan GDPK ini disusun untuk mendukung pencapaian Asta Cita pemerintahan Kabinet Merah Putih, khususnya dalam penguatan sumber daya manusia (SDM) dan pembangunan dari desa.
“GDPK menjadi acuan strategis dalam merespons berbagai tantangan pembangunan kependudukan melalui kajian inovatif yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara adil dan merata,” kata dia dalam kegiatan High Level Meeting Komite Kebijakan Strategi Sektor Kependudukan, Pembangunan Keluarga dan KB itu.
Ia menekankan bahwa program kependudukan, pembangunan keluarga, dan KB harus dilaksanakan secara harmonis untuk menciptakan keseimbangan antara kualitas, kuantitas, dan persebaran penduduk serta menjamin keberlanjutan lingkungan hidup keluarga.
Adapun fokus utama penguatan GDPK meliputi peningkatan akses dan kualitas layanan KB guna menekan angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) yang pada 2023-2024 secara nasional berada di angka 2,11, serta menurunkan angka kematian ibu dan anak. Selain itu, upaya penguatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga juga menjadi prioritas.
Isyana juga menyoroti pentingnya adaptasi terhadap perubahan iklim, penanggulangan bencana, serta efisiensi pelaksanaan program melalui koordinasi lintas sektor dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan, yang dijelaskan dalam GDPK.
“Setiap individu harus memiliki akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan gizi seimbang sejak dini sebagai modal pembangunan bangsa melalui keluarga. Tentu adaptasi perubahan iklim juga masuk di dalam grand desain ini,” ujarnya.
Untuk itu Kemendukbangga/BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) sudah menyiapkan sebanyak 18.168 penyuluh KB dan petugas lapangan KB (PLKB) yang memegang peranan penting dalam menjalankan program pemerintah di lapangan.
Berdasarkan data pemutakhiran Pendataan Keluarga 2024, tercatat sebanyak 75,65 juta keluarga di seluruh Indonesia. Meski program KB terbukti menurunkan angka kelahiran dan mendorong lahirnya keluarga kecil berkualitas, masih terdapat tantangan seperti disparitas layanan antar-wilayah serta peningkatan kualitas SDM.
Kemendukbangga juga menggarisbawahi GDPK ini menjadi penting karena bonus demografi di Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal.
Dalam kegiatan itu dipaparkan misalnya dari sekitar 190 juta penduduk usia produktif, hanya 70,15 juta yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan hanya sekitar 16.210 orang yang tercatat melapor Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pada 2025.
Sekretaris Utama Kemendukbangga Budi Setiyono mengungkapkan bahwa data tersebut mengartikan satu orang produktif harus menanggung beban empat hingga lima orang. Maka jika tidak dikelola dengan baik, bonus demografi bisa berubah menjadi bencana demografi.
Dia menilai dampak serius yang ditimbulkan adalah ketimpangan tersebut berpotensi menciptakan gangguan sosial seperti praktik premanisme yang menghambat aktivitas ekonomi.
“Kita melihat pabrik tutup karena dipalak ormas misalnya, atau usaha kecil kolaps karena beban pembiayaan nonformal yang tidak mampu ditanggung. Untuk itu keselarasan dalam memperkuat pelaksanaan program KB dan pembangunan keluarga dalam mendukung pembangunan nasional yang inklusif dan berkelanjutan menjadi penting,” ujarnya.
Baca juga: BKKBN: Jangan pisahkan Program KB dengan pencegahan stunting
Baca juga: Gubernur Bali tolak KB dua anak demi kelangsungan budaya
Baca juga: Mengubah "brain drain" jadi "brain gain" dengan GDPK yang kuat
Baca juga: BKKBN susun GDPK jadikan penduduk subjek-objek pembangunan
Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2025