Fraksi Golkar DPR dorong revisi UU Sisdiknas jadi setara negara maju

1 hour ago 3

Jakaera (ANTARA) - Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI Muhammad Sarmuji menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sangat penting untuk menjadi sistem pendidikan Indonesia setara dengan pendidikan di negara maju.

Hal itu disampaikan Sarmuji dalam Focus Group Discussion (FGD) Revisi UU Sisdiknas yang digelar di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

Sarmuji mencontohkan negara-negara seperti Korea Selatan dan China yang dahulu sama-sama negara berkembang, tetapi kini telah melesat menjadi negara maju.

“Ada satu faktor penting yang membuat mereka bisa melakukan lompatan vertikal peradaban, yaitu pendidikan. Kita pun bisa melakukan lompatan serupa asalkan ada perubahan fundamental dalam sistem pendidikan kita,” kata Sarmuji dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu mengatakan UU Sisdiknas adalah undang-undang yang sangat krusial bagi pembangunan dan sudah seharusnya direvisi agar sesuai dengan perkembangan zaman.

“UU Sisdiknas ini sudah berusia 22 tahun. Bisa dikatakan satu generasi. Saatnya kita bertanya, bagaimana hasilnya? Apa kabar pendidikan kita hari ini? Kita perlu melakukan review menyeluruh agar sistem pendidikan benar-benar menjadi motor kemajuan bangsa,” ujarnya.

Ia menekankan janji kemerdekaan sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, Sarmuji menyoroti pentingnya memperjelas konsep mandatory spending 20 persen untuk pendidikan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

“Anggaran pendidikan harus betul-betul diarahkan demi kemajuan dunia pendidikan kita. Apa kategori tentang anggaran pendidikan perlu diperjelas ,” tegasnya.

Lebih lanjut, Sarmuji menyinggung Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 yang mewajibkan negara menjamin penyelenggaraan pendidikan dasar tanpa biaya dan tanpa diskriminasi, baik di sekolah negeri maupun swasta. Ia menekankan pentingnya tetap menjaga partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

“Lembaga pendidikan yang dikelola swasta banyak yang terbukti lebih maju. Putusan MK jangan sampai mematikan partisipasi masyarakat, sebaliknya harus memperkuatnya sebagai komplemen peran negara,” kata Sarmuji.

Dalam forum yang sama, Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menekankan urgensi revisi UU Sisdiknas agar selaras dengan perkembangan zaman.

“UU Sisdiknas ini sudah cukup tua, sudah harus direvisi untuk disesuaikan dengan perubahan zaman. Pokok-pokok perubahannya mencakup tata kelola pendidikan, wajib belajar, dan lain-lain,” jelas Hetifah.

Ia menegaskan, RUU ini disusun dengan memperhatikan prinsip meaningful participatory participation.

“Komitmen DPR adalah melibatkan berbagai pihak dalam proses penyusunan RUU Sisdiknas, demi menghasilkan regulasi yang lebih baik dan relevan dengan kebutuhan masyarakat,” ujarnya.

Hetifah juga membantah hoaks yang beredar di media sosial terkait revisi UU Sisdiknas. “Ada isu bahwa revisi UU Sisdiknas akan menghapus hak-hak guru. Itu tidak benar. Justru yang ada adalah peningkatan hak-hak guru,” tuturnya.

Yuli Indrawati, Pengajar Bidang Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, salah satu narasumber dalam FGD tersebut, menegaskan bahwa alokasi 20 persen anggaran pendidikan tidak boleh sekadar formalitas angka tetapi bagaimana dana itu digunakan secara tepat sasaran, transparan, dan efisien.

Ia menyoroti fakta bahwa sebagian besar anggaran masih terserap untuk gaji guru, sementara program peningkatan mutu, pelatihan, dan infrastruktur sering terpinggirkan.

“Kalau semua hanya habis untuk gaji, maka kualitas guru, pemerataan fasilitas, dan inovasi pendidikan akan terus terhambat,” tegasnya.

Yuli mengingatkan pentingnya belajar dari negara lain—Finlandia dengan kesejahteraan guru, Singapura dengan efisiensi dan teknologi, serta Jerman dengan pendidikan vokasi.

Ia juga menekankan bahwa revisi UU harus memperjelas tata kelola berbasis prinsip subsidiarity dan memastikan mutu wajib belajar 13 tahun.

“Anggaran 20 persen itu harus diarahkan pada peningkatan mutu, bukan sekadar terserap untuk gaji dan administrasi,” ujarnya.

Baca juga: Pemerintah bersama DPR segerakan uji publik RUU Sisdiknas

Baca juga: LKIS minta RUU Sisdiknas akomodasi hak pendidikan masyarakat penghayat

Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |