Jakarta (ANTARA) - Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) Tulus Abadi mendorong temuan Kementerian Pertanian terkait praktik kecurangan beras yamg menyebabkan kerugian konsumen Rp99,35 triliun per tahun agar direspons aksi nyata lintas kementerian dan lembaga.
Menurut Tulus, temuan praktik kecurangan tersebut tidak hanya diinformasikan kepada publik, tetapi ditindaklanjuti dengan aksi hukum dan kebijakan antar kementerian/lembaga.
"Praktik pengoplosan beras premium, apalagi dilakukan oleh pelaku usaha besar ini bisa menjadi praktik mafia antar produsen beras, untuk mengeruk keuntungan dengan praktik kotor," kata Tulus dalam keterangan di Jakarta, Sabtu.
Dia menegaskan tindakan pengoplosan beras premium sangat merugikan konsumen, tersebab hal ini bertentangan dengan multi regulasi di level undang-undang, baik UU Perlindungan Konsumen, UU tentang Pangan, UU tentang Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.
"Plus KUHP, yang menjurus pada aspek penipuan pada konsumen," ujarnya.
Dalam konteks informasi pada pelabelan, lanjut Tulus, beras premium oplosan menimbulkan disinformasi pada konsumen sebab antara label dengan isinya tidak sama, dan hal ini menjadikan beras oplosan sebagai beras yang tidak standar.
Dia menuturkan praktik beras oplosan harus ditindak tegas dan diberikan sanksi dari berbagai aspek hukum, baik dari sisi perdata, administrasi, bahkan pidana.
Ia menjelaskan dari sisi perdata, maka produsen yang terbukti mengoplos harus mengganti beras yang standar pada konsumen. Sedangakn dari aspek administrasi, perusahaan yang bersangkutan bisa dicabut izin usahanya.
"Dan, dari sisi pidana, pelaku pengoplosan bisa diproses pidana, sesuai dengan hukum yang berlaku," tuturnya.
Ia juga mendorong masyarakat untuk segera melaporkan jika di pasaran ditemukan beras oplosan tersebut.
"Silakan laporkan ke lembaga Konsumen FKBI," imbuh Tulus.
Investigasi kasus kecurangan beras komersial dilakukan Kementerian Pertanian, Bapanas, Satgas Pangan, Kejaksaan, hingga Kepolisian, setelah adanya anomali soal beras, padahal produksi padi saat ini sedang tinggi secara nasional, bahkan tertinggi dalam 57 tahun terakhir dengan stok hingga saat ini mencapai 4,2 juta ton.
Berdasarkan hasil temuan pada beras premium dengan sampel 136, ditemukan 85,56 persen tidak sesuai ketentuan; 59,78 persen tidak sesuai harga eceran tertinggi (HET); serta 21,66 persen tidak seusai berat kemasan.
Lalu, temuan pada beras medium dengan sampel 76 merek ditemukan 88,24 persen tidak sesuai mutu beras; 95,12 persen tidak sesuai HET; serta 9,38 persen tidak seusai berat kemasan.
Dugaan praktik kecurangan dalam perdagangan beras yang menyebabkan kerugian konsumen hingga Rp99,35 triliun akibat manipulasi kualitas dan harga di tingkat distribusi itu, sedang berproses di kepolisian.
Baca juga: Mentan: Penanganan kecurangan beras jaga ekonomi-daya beli masyarakat
Baca juga: Mentan: 212 produsen beras nakal harus ditindak tegas
Baca juga: Pemerintah salurkan beras SPHP 1,3 juta ton hingga Desember 2025
Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.