Femisida dan KDRT, silent killer yang terus renggut nyawa perempuan

3 hours ago 3

Jakarta (ANTARA) - Terungkapnya kasus-kasus Femisida memperlihatkan bahwa tindakan kriminal pembunuhan terhadap perempuan itu merupakan ancaman yang kian menakutkan.

Femisida adalah pembunuhan berbasis gender. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah femisida merujuk pada tindakan pembunuhan seorang perempuan oleh laki-laki karena kebenciannya terhadap perempuan.

Istilah femisida mengemuka dan dipakai untuk menjelaskan banyaknya kasus pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan oleh tenan dekatnya.

Awal tahun 2025 ini ada setidaknya empat kasus femisida yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Pada akhir Januari 2025, terjadi kasus pembunuhan disertai mutilasi terhadap perempuan berinisial UK (29) di Jawa Timur.

Warga menemukan tubuh korban di dalam koper berwarna merah di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, pada Kamis (23/1).

Pelaku berinisial RTH alias A (32) adalah teman dekat atau kekasih korban.

RTH cemburu dan sakit hati atas kata-kata korban sehingga nekad membunuh dan memutilasi korban.

Sebagian tubuh korban dimasukkan ke dalam koper, lalu dibuang di Ngawi, dan sebagian potongan tubuh lainnya dibuang di Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Trenggalek.

Di Palembang, Sumatera Selatan, terjadi peristiwa penelantaran istri berinisial SPS (25) oleh suaminya WS (26) yang berujung korban meninggal dunia pada Kamis (23/1).

Sang suami menelantarkan istri padahal korban tengah menderita sakit kanker paru-paru.

Suami semakin menelantarkan istrinya lantaran korban menolak berhubungan badan karena kondisi tubuh sang istri yang lemah.

Kemudian di Kabupaten Bener Meriah, Aceh, warga digegerkan dengan terungkapnya peristiwa femisida yang dilakukan seorang suami berinisial EA (31) terhadap istrinya A (35).

Femisida tersebut dilakukan secara terencana yang berawal dari cekcok suami-istri, sehingga pelaku pun dendam.

Jasad istri dimasukkan ke dalam drum sebelum ditanam di tanah dan dicor oleh pelaku.

Sementara itu di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, ditemukan kasus femisida terhadap istri kedua (51) yang terjadi pada November 2022, namun baru terungkap pada 2025.

Jenazah korban dibuang ke septic tank di rumahnya oleh suami yang berinisial S (43).

Kasus ini terungkap pada Februari 2025 ketika pelaku melakukan tindak femisida kedua kalinya terhadap perempuan lain dan jenazahnya juga akan dibuang ke septic tank yang sama.

Baca juga: MenPPPA akan bahas pencegahan femisida dengan berbagai pihak

Baca juga: Kasus mutilasi, KemenPPPA: Akibat laki-laki merasa miliki perempuan

Kekerasan yang berulang

Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Rainy Hutabarat mengatakan kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan pasangan intim dan dalam rumah tangga merupakan silent killer.

Pengabaian dan keberulangan kekerasan dinilai dapat berujung tindak kriminalitas femisida oleh pelaku kekerasan, atau korban melakukan bunuh diri.

Femisida terjadi akibat rasa maskulinitas toksik berupa penguasaan terhadap perempuan berdasarkan relasi gender yang timpang, agresi, dan sadisme dalam tindak pembunuhan, maupun perlakuan terhadap jenazah.

Komnas Perempuan mencatat kekerasan terhadap pasangan intim (istri atau kekasih) merupakan kasus terbanyak yang dilaporkan ke Komnas Perempuan maupun organisasi penyedia layanan setiap tahunnya.

Empat kasus femisida yang terjadi pada rentang Januari - Februari 2025 merupakan kasus femisida pasangan intim.

Dari keempat kasus femisida pasangan intim tersebut, tiga kasus diantaranya menunjukkan sadisme dalam tindak penghilangan nyawa dan perlakuan terhadap jenazah korban.

Menurut Rainy, ada motif penghilangan jejak kriminalitas dalam tindak mutilasi dan pembuangan jenazah ke tempat yang jauh, atau membuang jenazah ke septic tank, atau dimasukkan ke dalam drum untuk kemudian dicor.

Pelaku dinilai tak sebatas menghilangkan nyawa, melainkan sekaligus melucuti martabat korban melalui tindakan sadisme terhadap jenazah.

Padahal, manusia yang telah wafat wajib dihormati dengan memperlakukan jenazahnya dengan hormat.

Rainy Hutabarat mengatakan maraknya kasus femisida menunjukkan bahwa aspek pencegahan belum dilakukan secara optimal, terutama oleh negara.

Bahaya kekerasan terhadap perempuan yang terjadi berulang dan diabaikan, terutama kekerasan oleh pasangan intim, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) perlu diketahui oleh para perempuan.

"Penting menyosialisasikan bahaya kekerasan terhadap perempuan yang terjadi berulang dan diabaikan di tengah masyarakat oleh negara, dalam hal ini KemenPPPA," kata Rainy Hutabarat.

Femisida pasangan intim dapat dicegah dengan memperluas jangkauan layanan pengaduan terhadap perempuan korban kekerasan.

Baca juga: Komnas catat 290 kasus femisida hingga Oktober lewat pantauan berita

Baca juga: Femisida dan impunitas, tantangan perlindungan perempuan

Belum direkognisi perundangan

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memandang kasus KDRT terjadi mengikuti siklus berulang yang terus meningkat eskalasinya seiring dengan keberulangan kejadian kekerasan.

Sering kali kasus KDRT berakhir dengan femisida.

"Kasus femisida seperti ini tidak bisa disamakan dengan kasus pembunuhan biasa karena berbeda faktor penyebabnya dan akar permasalahannya," kata Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA Eni Widiyanti.

Pihaknya pun menyayangkan terminologi femisida yang sampai saat ini belum direkognisi oleh peraturan perundangan di Tanah Air.

Padahal tersedianya peraturan yang mengatur tentang femisida akan memudahkan penanganan korban, menggali akar permasalahannya, dan cara mencegahnya.

Eni Widiyanti menilai terjadinya rentetan kasus femisida akhir-akhir ini selaras dengan data KDRT yang masih tinggi di Indonesia, yaitu 20,5 persen, berdasarkan hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024.

Artinya diperkirakan sebanyak 19,3 juta perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia mengalami KDRT dalam setahun terakhir.

Dari jumlah tersebut, hanya kisaran 0,2 persen yang berani melaporkan kasusnya ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) maupun ke kepolisian.

"Sebanyak 98 persen perempuan korban KDRT memilih diam, baru terungkap setelah terjadinya kehilangan nyawa. Bahkan kasus femisida di Kabupaten Bekasi yang terjadi tahun 2022, baru terungkap di tahun 2025 setelah terjadi kasus femisida berikutnya," kata Eni Widiyanti.

Eni pun meminta semua perempuan agar memahami ragam bentuk kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT.

Jika perempuan mengalami kekerasan harus berani melapor dan meminta pertolongan.

Dengan demikian, sejak awal, negara, masyarakat, dan keluarga dapat memberikan perlindungan.

Namun di sisi lain, sebagian besar masyarakat masih menganggap KDRT adalah masalah pribadi, masalah keluarga, sehingga tidak boleh dicampuri oleh orang lain.

Oleh karena itu, di banyak kasus femisida, terungkap bahwa tetangga korban sering mendengar tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku, tetapi tetangga memilih diam saja, sampai berujung pada kematian korban.

KemenPPPA pun terus bekerja sama dengan kementerian/lembaga lainnya dan organisasi masyarakat sipil untuk melakukan upaya-upaya pencegahan KDRT melalui pelatihan dan bimbingan bagi calon pengantin, juga mengkampanyekan "Dare to Speak Up" kepada masyarakat.

Tokoh masyarakat di tingkat desa/kelurahan pun dilibatkan dalam sosialisasi pencegahan KDRT.

Upaya ini diharapkan dapat didukung oleh semua pihak untuk mencegah terjadinya kembali kasus kekerasan terhadap perempuan dan femisida di Indonesia.

Baca juga: KemenPPPA sebut pentingnya femisida diatur dalam Perundang-Undangan

Baca juga: Komnas upayakan indikator femisida masuk ke sistem pencatatan kriminal

Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |