EV terus tumbuh, strategi pengolahan limbah baterai harus diperhatikan

3 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Tren penggunaan kendaraan elektrifikasi di Indonesia, dalam dua tahun belakangan ini menunjukkan catatan yang cukup positif. Penjualan kendaraan listrik yang terus meningkat, justru membawa lembar pekerjaan baru dalam hal mengatasi limbah baterai nantinya.

“Pertumbuhan pengguna EV di Indonesia perlu diimbangi dengan persiapan menghadapi potensi limbah baterai, termasuk jenis LFP yangg nilai recycle-nya relatif rendah agar tidak menimbulkan dampak lingkungan di masa depan,” kata pakar bidang otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu, saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.

Dia melanjutkan bahwa pencegahan melimpahnya limbah baterai ini sudah perlu dibicarakan dengan matang, baik dari sisi produsen, maupun pemerintah yang memiliki otoritas dalam membuat peraturan, agar nantinya tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

Salah satu solusi strategis yang mulai banyak dibahas adalah penerapan ekonomi sirkular di sektor baterai. Melalui pendekatan ini, baterai bekas tidak langsung diperlakukan sebagai limbah, melainkan bisa dimanfaatkan kembali dalam bentuk baru yang lebih produktif.

Penerapan yang paling nyata adalah dengan menggaungkan program second life untuk baterai EV, dengan cara mengonversinya menjadi battery energy storage system (BESS).

Sistem penyimpanan energi ini dapat digunakan untuk mendukung stabilitas jaringan listrik nasional, mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan, hingga menyimpan kelebihan energi dari pembangkit tenaga surya.

“Agar efektif, tentunya diperlukan kolaborasi kuat antara pemerintah, produsen, dan pemangku kepentingan global, melalui regulasi EPR (Extended Producer Responsibility) serta insentif investasi daur ulang,” ujar dia, menjelaskan.

Pendekatan ini, sekaligus membuka peluang investasi di sektor daur ulang dan pemprosesan material kritis dari baterai yang sudah tidak dimanfaatkan pada mobil listrik, seperti nikel, kobalt, dan lithium.

Dengan begitu, baterai bekas dari mobil listrik ini tidak lagi sekadar dipandang sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3, tetapi justru sebagai aset strategis bagi upaya bersama untuk ketahanan energi nasional.

Paspor baterai

Langkah lain yang juga menjadi solusi kongkret agar terhindar dari maraknya limbah baterai, Yannes mengatakan perlu adanya penerapan sistem paspor baterai digital. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa industri EV di Indonesia benar-benar memiliki tanggung jawab terkait EV yang mereka pasarkan di Tanah Air.

“Paspor baterai digital harus menjadi langkah untuk memastikan industri EV di Indonesia benar-benar bertanggung jawab terkait EV yang mereka jual di Indonesia dan memastikan bahwa aspek reuse dan recycle-nya terjamin ramah lingkungan untuk jangka panjang,” kata dia.

Khusus untuk baterai jenis nickel manganese cobalt NMC), yang meski jumlahnya relatif kecil pada pasar EV Indonesia, pemerintah tetap perlu memastikan keberadaan sistem pencatatan jejak yang komprehensif.

Transparansi data dari hulu ke hilir akan membantu Indonesia menjaga kedaulatan atas material kritis dan mencegah kebocoran sumber daya yang bernilai tinggi.

Pada akhirnya, para produsen EV tidak bisa hanya fokus menjual kendaraan. Mereka harus proaktif mengelola data baterai seumur hidupnya, mulai dari kualitas, riwayat pemakaian, performa, hingga keputusan akhir, apakah baterai layak digunakan kembali atau masuk ke tahap daur ulang penuh.

Komitmen produsen

BYD yang merupakan pabrikan otomotif dan fokus dalam menghadirkan kendaraan elektrifikasi murni di Tanah Air, memberikan komimtennya terhadap isu mengenai baterai yang sudah tidak terpakai tersebut. Pihaknya tidak menutup mata terhadap hal tersebut.

Head of Public and Government Relations BYD Indonesia Luther Pandjaitan menanggapinya justru dengan cara yang santai. Hal itu dikarenakan pabrikan otomotif asal China yang fokus pada kendaraan BEV ini telah memiliki teknologi untuk dapat mengelola limbah baterai agar tidak mencemari lingkungan.

“30 tahun perjalanan BYD, tidak lepas dari pengembangan serta pengelolaan teknologi baterai. Tentunya itu dari hulu ke hilir ya, dari mulai bahan baku sampai pengelolaan limbah. Jadi kami sebenarnya sudah mastering keseluruhan teknologi itu,” kata Luther, menegaskan.

Meski kendaraan-kendaraan BYD yang ada di Indonesia masih seumur jagung, pihaknya tidak menutup mata akan kebutuhan pengelolaan limbah baterai nantinya.

Dengan masa garansi baterai mencapai 8 tahun ini, pihak BYD masih memiliki waktu setidaknya 5 sampai 6 tahun untuk mempersiapkan itu semua.

Hal ini juga merupakan komitmen dan tanggung jawab perusahaan dalam menjaga ekosistem alam Indonesia agar nantinya tidak tertimbun dengan limbah atau baterai bekas dari kendaraan EV.

“Tapi pasti kami sangat siap, karena itu adalah salah satu keunggulan kami. Kami tidak hanya memproduksi kendaraan, tapi kami juga produksi baterai. Kami, bahkan salah satu produksi baterai terbesar di dunia. Jadi sangat possible dan teknologinya sudah di tangan kami,” ujar dia.

Untuk diketahui, catatan yang diberikan oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), jumlah kendaraan elektrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) di Indonesia telah meningkat dari 15.318 unit pada 2023 menjadi 43.188 unit pada 2024.

Pada bulan kedelapan tahun 2025,menurut data gabungan industri tersebut, jumlah BEV di Indonesia telah mencapai 51.191 unit.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |