Jakarta (ANTARA) - Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Rully Arya Wisnubroto memproyeksikan neraca perdagangan Indonesia masih bisa mencatatkan surplus 2,9 miliar dolar AS pada Maret 2025 kendati dihadapkan pada meningkatnya tensi perang tarif antara AS dan China.
Surplus tersebut masih mampu ditopang oleh ekspor bersih (net exports) Indonesia sepanjang kuartal I 2025, sebelum dampak lebih besar dari tarif resiprokal AS mulai dirasakan pada April.
"Mungkin bulan Maret ini (neraca dagang) masih akan tetap surplus, belum banyak impact dari trade war, risikonya di bulan April dan bulan-bulan selanjutnya bisa jadi kita dari surplus ke defisit. Kalau kita memang berkomitmen untuk bekerja sama, mau enggak mau pasti, (Presiden AS) Trump-nya pasti ingin (surplus)," ujar Rully dalam media day Mirae Asset di Jakarta, Kamis.
Meski Trump memberikan penundaan implementasi tarif resiprokal selama 90 hari, Rully mewanti-wanti tekanan terhadap neraca dagang tanah air akan meningkat mulai kuartal II 2025.
Hal ini dikarenakan kebergantungan Indonesia terhadap pasar ekspor AS.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada 2024 AS menjadi negara tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia setelah China, dengan nilai ekspor mencapai 26,31 miliar dolar AS.
Meskipun lebih kecil dibandingkan nilai ekspor ke China sebesar 62,44 miliar dolar AS, AS tetap memegang peranan penting dalam perekonomian domestik.
Terkait kebijakan tarif baru dari Pemerintah AS, Rully menilai Indonesia akan menghadapi tantangan ganda yakni tekanan dari lonjakan harga barang impor asal AS dan membanjirnya barang-barang asal China yang gagal masuk pasar AS.
Maka dari itu penerapan tarif resiprokal AS kepada Indonesia sebesar 32 persen sangat berdampak terhadap perekonomian dalam negeri.
"Most likely implikasinya kita, apakah kita akan mengimpor lebih banyak barang-barang dari AS sekaligus kita juga akan terbanjiri oleh impor barang-barang dari China yang tadinya dikirim ke AS yang harganya sudah naik lebih dari dua, sampai tiga kali lipat," terangnya.
Kendati demikian, memandang kinerja ekspor Indonesia pada Maret diperkirakan masih cukup kuat, khususnya berkat lonjakan harga komoditas unggulan seperti emas, batu bara, dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Harga emas dunia tercatat menembus rekor tertinggi dalam sejarah, yakni mencapai 3.353,79 dolar AS per troy ounce pada perdagangan Rabu, naik lebih dari 3,5 persen.
Peningkatan harga ini turut mendorong nilai ekspor Indonesia yang memiliki cadangan emas cukup besar.
Adapun Pemerintah Indonesia sendiri telah mengirimkan delegasi ke Washington DC, AS, untuk bernegosiasi tarif resiprokal.
Delegasi dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, didampingi Menteri Luar Negeri Sugiono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Dalam lawatannya, Indonesia membawa sejumlah usulan utama, antara lain revitalisasi perjanjian kerja sama dagang Trade & Investment Framework Agreement (TIFA), pelonggaran regulasi Non-Tariff Measures (NTMs) termasuk relaksasi TKDN, serta penawaran peningkatan impor migas dari AS.
Pemerintah juga menyiapkan insentif fiskal dan nonfiskal untuk menjaga daya saing ekspor, termasuk penurunan bea masuk, PPh impor, dan PPN impor.
Rully menilai posisi Indonesia dalam perundingan tidak sekuat negara besar lain seperti China atau Uni Eropa, namun masih ada harapan untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.
"Kemudian yang negosiasi memang harapannya akan ada deal. Jadi, memang sayangnya posisi Indonesia itu salah satu yang mungkin tidak terlalu kuat, beda dengan China atau mungkin dengan Eropa. Mereka mungkin bisa melakukan retaliasi," tuturnya.
Baca juga: Indonesia bidik Rusia untuk pasar baru di tengah kebijakan tarif AS
Baca juga: Menlu Sugiono, Rubio sepakat kuatkan kemitraan strategis RI-AS
Baca juga: Dentons Global CEO dan Wamen ESDM bahas solusi perang tarif
Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2025