Jakarta (ANTARA) - Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia Fakhrul Fulvian menilai, Indonesia memang sudah saatnya membahas soal redenominasi rupiah sebagai upaya untuk menyederhanakan sistem pembayaran nasional sekaligus meningkatkan efisiensi ekonomi.
Namun, kebijakan tersebut perlu dilakukan dengan kehati-hatian dengan sejumlah catatan penting.
"Inilah saatnya kita melangkah tenang untuk redenominasi. Kita berada di kondisi yang siap, namun ada beberapa hal yang harus dilakukan, untuk kesuksesan redenominasi," kata Fakhrul dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Catatan pertama, menurut Fakhrul, redenominasi bukan hanya soal memotong tiga nol, tetapi juga menata ulang sistem pembayaran secara menyeluruh. Salah satu catatan pentingnya adalah menghidupkan kembali satuan 'sen' sebagai simbol ketelitian dalam perekonomian.
"Redenominasi bukan sekadar menyederhanakan angka, tapi ini mendatangkan kewajiban untuk menghidupkan kembali satuan kecil yang dahulu pernah memberi keseimbangan pada kehidupan ekonomi rakyat," ujarnya.
Sistem sen dapat mencegah risiko pembulatan harga ke atas, menjaga keadilan transaksi, dan menekan potensi inflasi yang tidak perlu, terutama di sektor ritel dan perdagangan kecil.
Kemudian catatan kedua, Fakhrul menegaskan bahwa keberhasilan redenominasi sangat bergantung pada kondisi stabilitas ekonomi dan inflasi yang rendah. Ia mengingatkan pengalaman sejumlah negara yang berhasil maupun gagal dalam menerapkan kebijakan serupa.
Baca juga: Pemerintah siapkan RUU Redenominasi Rupiah, ditargetkan rampung 2027
"Sebagaimana dicatat oleh Bank of Ghana (2007) dan Bank Sentral Turki (2005), redenominasi yang dilakukan di tengah stabilitas makro terbukti menurunkan friksi transaksi dan menyederhanakan sistem pembayaran. Sebaliknya, dalam kasus Zimbabwe (2008), IMF mencatat redenominasi gagal karena inflasi ekstrem dan hilangnya kepercayaan publik," jelasnya.
Catatan ketiga, Fakhrul juga menilai redenominasi harus disinergikan dengan rencana peluncuran rupiah digital (Central Bank Digital Currency/CBDC) oleh Bank Indonesia (BI).
Dengan nilai nominal yang lebih sederhana, menurut dia, CBDC akan lebih mudah diterapkan dalam transaksi mikro, lintas wilayah, hingga lintas platform.
"Studi oleh Bank for International Settlements menekankan bahwa penyederhanaan nominal mata uang meningkatkan simplicity, interoperability, dan efficiency dalam desain sistem pembayaran ritel," kata dia.
Lebih lanjut, catatan keempat, saat ini kondisi ekonomi Indonesia cukup ideal untuk mulai merancang redenominasi. Inflasi berada di bawah 3 persen, stabilitas sistem keuangan terjaga, dan ekspektasi publik terhadap inflasi terkendali.
"Redenominasi dalam situasi seperti ini adalah tindakan anticipatory, bukan reaktif," ujar Fakhrul.
Meski demikian, ia menekankan pentingnya masa transisi yang cukup agar masyarakat tidak kebingungan.
Baca juga: BI pastikan redenominasi rupiah tetap pertimbangkan waktu yang tepat
"Kita butuh waktu transisi di masyarakat untuk mencegah kebingungan, dan ini membutuhkan kolaborasi pemerintah dan seluruh otoritas untuk memberikan komunikasi yang cermat dan tepat," tuturnya.
Adapun Pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah atau redenominasi, dengan target penyelesaian pada 2027.
Langkah ini menjadi bagian dari empat RUU prioritas Kementerian Keuangan dalam Rencana Strategis 2025-2029, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025.
Dalam PMK itu, urgensi RUU Redenominasi antara lain untuk meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, menjaga daya beli masyarakat, serta memperkuat kredibilitas rupiah di tengah dinamika ekonomi global.
Baca juga: Rupiah ditutup menguat ke Rp16.701 di tengah sentimen RUU Redenominasi
Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































