Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyampaikan kebijakan nontarif (Non-Tariff Measure/NTM) tetap perlu diterapkan untuk memitigasi dampak dari implementasi tarif resiprokal Amerika Serikat (AS).
“Harus ada optimalisasi instrumen dari Non-Tariff Measure ya. Menurut kami, NTM itu masih diperlukan untuk memastikan produk yang masuk ke Indonesia itu sudah sesuai standar yang ditetapkan oleh pemerintah,” ujarnya dalam webinar “Menakar Daya Saing Indonesia di Era Tarif Baru: Standarisasi dan Pemastian dalam Perdagangan Global” di Jakarta, Rabu.
Meskipun kesepakatan terakhir antara Indonesia dan Amerika Serikat menetapkan tarif resiprokal sebesar 19 persen, lebih rendah daripada ketentuan awal sebesar 32 persen, ia menilai langkah tersebut belum cukup untuk melindungi industri dalam negeri.
Ia mengatakan bahwa optimalisasi instrumen NTM penting agar produk-produk yang diimpor dari Amerika Serikat memenuhi standar yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia.
Hal tersebut mengingat Indonesia telah mengumumkan rencana untuk mengimpor produk pertanian dari Amerika Serikat senilai 4,5 miliar dolar AS (Rp73,31 triliun, kurs 1 dolar AS = Rp16.291) serta menghapus hambatan non-tarif terhadap sejumlah produk sebagai bagian dari perjanjian tersebut.
Yusuf menuturkan pembukaan pasar impor produk pertanian dari Amerika Serikat tersebut tanpa diimbangi langkah mitigasi yang tepat dikhawatirkan akan menyebabkan produk pertanian lokal sulit bersaing dengan produk impor yang berkualitas lebih baik dengan harga yang terjangkau.
Yusuf meminta pemerintah untuk tetap mempertahankan persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) serta sejumlah kebijakan nontarif yang merupakan kebijakan umum, seperti pengurusan ijin impor hingga inspeksi dan verifikasi prapengiriman.
Ia juga menekankan pentingnya penguatan pemulihan perdagangan atau trade remedies serta stabilitas makroekonomi melalui konsolidasi kebijakan moneter dan fiskal.
Selain itu, diversifikasi pasar ekspor serta percepatan perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) harus terus didorong untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar tertentu.
“Terkait diversifikasi pasar ekspor saya pikir beberapa hal sudah dilakukan pemerintah, termasuk percepatan penyelesaian FTA, lalu ada juga penyesuaian strategi ekspor,” kata Yusuf Rendy Manilet.
Sebagai upaya untuk mengatasi dampak dari implementasi tarif resiprokal AS, pemerintah Indonesia telah menggencarkan upaya untuk memperluas pasar ekspor ke negara-negara dan pasar nontradisional, seperti Timur Tengah dan Afrika.
Pemerintah juga tengah bersiap untuk menandatangani berbagai perjanjian dagang bilateral yang telah selesai dirundingkan, termasuk Indonesia-Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (ICA-CEPA), Indonesia–Eurasian Economic Union Free Trade Agreement (I–EAEU FTA), dan Indonesia-Tunisia Preferential Trade Agreement (IT-PTA).
Selain itu, terdapat pula Indonesia-Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (ICA-CEPA) serta Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) yang rencananya akan diteken pada akhir tahun ini.
Baca juga: Kementerian ESDM pastikan impor BBM dari AS tetap berjalan
Baca juga: Eksportir kerajinan DIY bidik pasar Eropa usai tarif impor AS berlaku
Baca juga: Apindo harap pemerintah buat kebijakan terintegrasi redam tarif Trump
Pewarta: Uyu Septiyati Liman
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.