Surabaya (ANTARA) - Anggota Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur, Puguh Wiji Pamungkas, menilai perlunya kehadiran negara memberikan regulasi agar kepentingan semua pihak dapat terakomodasi dalam polemik penggunaan sound horeg yang resmi difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur
“Sound horeg ini kerap diiringi jogetan laki-laki dan perempuan yang tidak mencerminkan norma kesusilaan. Apalagi jika digelar di jalan umum dan disaksikan anak-anak. Tentu hal ini sangat mengganggu ketertiban,” ujar Puguh di Surabaya, Jumat.
Menurut dia, istilah sound horeg berawal dari wilayah Malang, digunakan untuk memeriahkan berbagai kegiatan masyarakat seperti karnaval dan pawai, namun dalam praktiknya, sering disertai aksi yang dinilai tidak pantas dipertontonkan di ruang publik.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menegaskan, kebebasan berekspresi memang dijamin dalam sistem demokrasi, namun tetap harus menghormati norma yang berlaku dan tidak merugikan masyarakat lain.
Baca juga: Tim-9 PWNU Jatim rekomendasikan Pergub Sound Horeg
“Ketika penggunaan sound horeg sudah berlebihan, merusak fasilitas umum, mempertontonkan tarian erotis, dan memicu keributan, maka wajar jika MUI mengeluarkan fatwa haram. Ini sejalan dengan keresahan yang dirasakan mayoritas masyarakat,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa tradisi memutar musik melalui sound system dalam hajatan seperti pernikahan dan khitanan adalah bagian dari budaya yang sudah lama ada di Jawa Timur, namun diperlukan aturan yang jelas untuk membedakan antara hiburan tradisional dengan sound horeg yang cenderung melanggar norma.
“Negara harus hadir. Jangan sampai pemilik usaha sound system kehilangan mata pencaharian. Tapi juga tidak bisa dibiarkan kalau sampai mengganggu ketertiban umum. Perlu ada peraturan daerah yang dihasilkan melalui musyawarah bersama semua pihak,” katanya.
Puguh juga menyoroti adanya insiden kericuhan hingga adu jotos yang kerap terjadi dalam acara yang menggunakan sound horeg.
Menurut dia, hal itu bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjunjung tinggi semangat saling menghormati.
“Kita semua hidup berdampingan. Jangan sampai ekspresi kebudayaan justru menjadi pemicu konflik. Pemerintah perlu hadir sebagai fasilitator untuk mencari solusi terbaik,” ujarnya.
Pewarta: Willi Irawan/Faizal Falakki
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.