Jakarta (ANTARA) - Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyelenggarakan Pidato Kebudayaan 2025 dengan tema “Ruang sebagai Agensi: Jakarta, Kota Global, dan Negosiasi Budaya”, menyoroti tantangan Jakarta menjadi kota global tanpa kehilangan identitas lokal.
Wakil Ketua DKJ Felencia Hutabarat mengatakan meski Jakarta kini bukan lagi ibu kota negara, ambisi kota global tetap menjadi arah baru.
“Dia menjadi janji, bahwa Jakarta ingin sejajar dengan kota-kota besar dunia. Namun, di balik ambisi itu, muncul pertanyaan ‘apakah mungkin sebuah kota menjadi global tanpa kehilangan makna lokalnya?’,” katanya dalam sambutannya di Pidato Kebudayaan DKJ 2025, di Jakarta, Senin (10/11) malam.
Felencia mengatakan perjalanan Jakarta menuju identitas tersebut sesungguhnya telah dimulai sejak abad ke-17. Jakarta dulu sering dibayangkan sebagai wadah di mana semua identitas melebur menjadi satu budaya baru.
Namun, di kota yang terus tumbuh seperti Jakarta, lanjut Felencia, peleburan semacam itu justru berisiko menghapus perbedaan yang menjadi nafas gerak kehidupan kota itu sendiri.
Baca juga: Pidato Kebudayaan dinilai sebagai bentuk ekosistem budaya yang hidup
“Bukankah keunikan Jakarta justru terletak pada keragamannya? Di era Soekarno, Jakarta diimpikan sebagai kota modern dan berkelas dunia, lengkap dengan tugu, stadion, dan gedung-gedung megah sebagai simbol kemajuan bangsa. Lalu pada masa kini, muncul berbagai sebutan baru kota metropolitan, kota kolaborasi, kota global,” katanya.
Felencia menyoroti bahwa di balik semua istilah tersebut, suara masyarakat dari berbagai latar belakang sering kali hanya menjadi gema di luar dinding pengambil keputusan, di mana atas nama keindahan dan efisiensi, serta kota yang terus dirancang, sering diisi tanpa melibatkan mereka.
Padahal, lanjut Felencia, Jakarta tidak pernah hanya soal rancangan, namun hidup karena warganya yang terus mencipta ruangnya sendiri.
“Para pedagang yang kembali ke trotoar; anak-anak yang bermain di gang sempit; dan warga yang menata ulang kota dengan caranya masing-masing. Barangkali inilah saatnya kita menggeser pandangan tentang Kota Global. Bukan kota yang sekadar mengejar pengakuan dunia, melainkan kota yang juga menjadi rumah bagi warganya sendiri,” tegas dia.
Dia berharap Pidato Kebudayaan 2025 mendorong partisipasi warga dalam pembangunan kota, menjadikannya seperti “piring asinan Jakarta”, yang berlapis, berpadu tanpa kehilangan ciri, dan dinikmati sebagai kenduri bersama.
Acara ini menghadirkan sastrawan Afrizal Malna, yang membacakan pidato bertajuk “Suara Bajaj dari Cikini”, menambah perspektif seni dalam refleksi kota global dan identitas lokal Jakarta.
Baca juga: Pidato Kebudayaan DKJ 2025 menyorot visi Jakarta sebagai kota global
Pewarta: Sri Dewi Larasati
Editor: Rahmad Nasution
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

















































