Dari ladang ke pasar: Hilirisasi demi kesejahteraan petani

6 hours ago 4

Jakarta (ANTARA) - Sektor pertanian Indonesia memiliki peran strategis dalam menopang perekonomian nasional sekaligus menjadi sumber penghidupan bagi jutaan rakyat.

Pada tahun 2024, kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai sekitar 12,6 persen, dengan subsektor tanaman perkebunan sebagai penyumbang utama.

Produk perkebunan juga mendominasi ekspor pertanian, mencakup 97 persen dari total nilai ekspor sebesar Rp622 triliun pada 2022, dan nilainya diperkirakan terus meningkat. Kelapa sawit menjadi komoditas unggulan, menyumbang sekitar 75 persen dari total ekspor pertanian.

Besarnya kontribusi ini menunjukkan bahwa perkebunan merupakan pilar penting dalam struktur ekonomi dan perdagangan Indonesia.

Selain nilai ekonomi yang signifikan, sektor perkebunan juga memainkan peran besar dalam penyerapan tenaga kerja dan penguatan ekonomi pedesaan. Berdasarkan Sensus Pertanian 2023, sekitar 10,8 juta rumah tangga menggantungkan hidupnya pada usaha perkebunan, yang sebagian besar dikelola oleh pekebun rakyat di lahan terbatas.

Industri kelapa sawit sendiri menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja di sepanjang rantai pasoknya, sementara perkebunan karet menopang kehidupan sekitar 2,5 juta keluarga petani.

Namun, potensi besar ini belum sepenuhnya dioptimalkan karena masih kuatnya kebergantungan pada ekspor bahan mentah, yang berdampak pada rendahnya nilai tambah dan kesejahteraan petani.

Baca juga: Kemenhut fokuskan hutan untuk pangan hingga hilirisasi pada 2026

Ekspor bahan mentah

Selama beberapa dekade, model bisnis perkebunan Indonesia cenderung berorientasi pada ekspor bahan mentah. Hasil bumi seperti kopi, kakao, dan karet diekspor dalam bentuk biji mentah atau olahan minimal, sementara negara lain menikmati nilai tambah dari pengolahan dan penjualan produk akhirnya.

Contohnya, meskipun Indonesia termasuk produsen kopi terbesar dunia, sekitar 98 persen ekspornya masih berupa biji kopi mentah. Hal serupa terjadi pada kakao dan karet, yang sebagian besar diekspor dalam bentuk dasar, bukan sebagai produk jadi bernilai tinggi seperti cokelat, ban, atau barang karet lainnya.

Akibatnya, keuntungan terbesar justru dinikmati oleh negara pengolah dan merek asing, bukan oleh petani dan pelaku industri di dalam negeri.

Kebergantungan pada ekspor bahan mentah membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global dan berbagai kebijakan proteksionis negara tujuan ekspor. Petani dan pelaku usaha lokal sering terpukul ketika harga global anjlok, karena tidak ada penopang nilai tambah di dalam negeri.

Selain itu, pasar ekspor semakin menuntut standar tinggi. Tanpa kemampuan mengolah hasil pertanian secara mandiri dan mendiversifikasi pasar, posisi tawar Indonesia di pasar internasional menjadi lemah dan devisa negara pun terancam jika terjadi pembatasan impor.

Baca juga: Mentan minta KAHMI dukung hilirisasi dan swasembada pangan

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |