Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyarankan agar pemerintah menyelaraskan undang-undang nasional dengan standar ketenagakerjaan internasional, khususnya mengenai pekerjaan yang layak di sektor perikanan tangkap laut.
“Semua pihak harus terlibat, baik itu pemerintah, akademisi, periset, terus kemudian pengusaha, pemilik kapal, dan juga serikat dalam bagaimana kita meningkatkan upaya perbaikan kondisi dan perlindungan pekerja di sektor perikanan tangkap,” kata Kepala Pusat Riset Kependudukan BRIN Nawawi dalam acara Peluncuran Hasil Survei ILO-BRIN di Jakarta, Selasa (11/3).
Nawawi menyampaikan bahwa BRIN bersama ILO telah melakukan survei terhadap 3.396 awak kapal perikanan di 18 pelabuhan di Indonesia dari November 2023 hingga September 2024.
Survei ini bertujuan untuk mengukur kondisi kerja di kapal penangkapan ikan serta menghasilkan 10 rekomendasi tindakan prioritas bagi pemangku kebijakan.
“Nenek moyang kita dikenal sebagai pelaut, dan kita selalu membanggakan diri sebagai negara maritim yang luar biasa. Namun, dalam praktiknya, kondisi para pekerja di sektor perikanan tangkap masih sangat lemah, terutama dalam hal perlindungan, kesejahteraan, serta pemenuhan hak-hak yang seharusnya mereka terima,” ucapnya.
Ekonom Senior ILO, Francesca Francavilla, menyampaikan bahwa perhatian harus diberikan pada yurisdiksi yang tumpang tindih di antara berbagai kerangka hukum dan otoritas.
Survei ILO menemukan bahwa kondisi kerja awak kapal perikanan masih jauh dari standar prinsip dasar dan hak di tempat kerja yang ditetapkan dalam konvensi ILO.
Temuan tersebut mencakup proses perekrutan dan migrasi yang tidak sesuai standar, ketiadaan kontrak kerja tertulis, jam kerja berlebihan, hingga praktik kerja paksa.
Oleh karena itu, ILO dan BRIN merekomendasikan agar pemerintah Indonesia mempromosikan pekerjaan layak bagi pekerja di sektor perikanan tangkap, termasuk penghapusan kerja paksa.
Upaya ini harus selaras dengan standar ketenagakerjaan internasional sebagaimana diatur dalam Konvensi ILO No. 188, Konvensi No. 181, dan Protokol Konvensi No. 29.
“Kami menemukan pentingnya penyelarasan antara undang-undang nasional dengan standar ketenagakerjaan internasional dan itu harus dilakukan dengan peningkatan koordinasi antara berbagai pemangku kebijakan di dalam negeri,” ucap Francesca
ILO, sebagai badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), merekomendasikan agar pemerintah Indonesia menegakkan standar perekrutan yang adil sesuai dengan peraturan nasional dan sejalan dengan standar internasional.
Selain itu, ILO juga mendorong upaya mengatasi tingginya tingkat informalitas di sektor perikanan dengan mewajibkan semua awak kapal perikanan memiliki perjanjian kerja laut. Pemerintah juga disarankan untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di atas kapal penangkap ikan.
Hadir pada kesempatan yang sama, Direktur Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Mochamad Idnillah, mengatakan ada sejumlah kondisi yang membuat implementasi di sektor perikanan di dalam negeri berbeda dengan di luar negeri.
Namun, terkait peraturan, dirinya menegaskan bahwa sejak 2021, melalui Omnibus Law serta beberapa peraturan pemerintah dan peraturan menteri, substansi terkait Konvensi No.188 telah dimasukkan.
“Kami sudah mengadopsi ketentuan internasional terkait dengan masalah awak kapal perikanan dan kami berharap aturan yang sudah ideal akan secara bertahap kita implementasikan kepada awak kapal perikanan di seluruh Indonesia. Dari sisi penerapannya, butuh waktu yang cukup lama,” jelas Idnillah.
Baca juga: Survei ILO-BRIN temukan pelanggaran hak terhadap awak kapal perikanan
Baca juga: BRIN soroti pentingnya pengarusutamaan HAM nelayan sejalan Asta Cita
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2025