Jakarta (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyoroti keterbatasan tenaga sumber daya manusia dan anggaran belanja yang dimiliki pemerintah daerah sebagai tantangan besar dalam upaya mitigasi dan penanganan dampak bencana alam.
Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB Lukmansyah dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Selasa malam, menyatakan bahwa pemerintah pusat melalui BNPB siap mendukung penanggulangan bencana dengan alokasi dana siap pakai. Namun, bantuan ini hanya dapat diberikan apabila pemerintah daerah telah menetapkan status keadaan darurat bencana.
Meski demikian, BNPB menilai bahwa bantuan tersebut belum cukup karena banyak daerah masih menghadapi keterbatasan sumber daya, baik personel, logistik, maupun peralatan yang memadai. Kondisi ini berdampak pada lambatnya respons dalam evakuasi dan pemenuhan kebutuhan dasar bagi korban serta pengungsi.
"Sumber daya personel, bantuan barang, peralatan, dan anggaran menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam penanganan darurat bencana agar bisa segera ditangani dengan cepat," ujar Lukmansyah dalam agenda pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Rakornas PB) 2025 di Bogor, Jawa Barat itu.
Ia menekankan bahwa semestinya pemerintah kabupaten dan kota menjadi garda terdepan dalam merespons bencana di wilayahnya. Namun, tidak semua daerah memiliki anggaran yang cukup dan tenaga yang terlatih untuk menghadapi situasi darurat. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas dan kapabilitas daerah masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
BNPB mencatat ada periode Januari - awal Maret 2025 sedikitnya ada 683 kejadian bencana alam yang didominasi bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem yang melanda 39 kabupaten/kota dari 19 provinsi. Dengan jumlah korban mengungsi 43.252 orang, tiga di antaranya meninggal dunia, serta dampak kerusakan rumah - infrastruktur jalan/jembatan dan fasilitas pelayanan publik yang signifikan total lebih dari 10.300 unit.
"Setiap tahun, banyak wilayah di Indonesia mengalami bencana alam. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus memiliki kesiapan yang lebih baik dalam merespons kejadian di daerahnya," tambahnya.
Baca juga: BNPB tegaskan kawasan wisata harus dipertebal saat libur Lebaran
Menyikapi keterbatasan tersebut, BNPB menekankan pentingnya sinergi dan kolaborasi pentaheliks, yaitu kerja sama antara pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat, dan media massa dalam upaya tanggap darurat. Kolaborasi ini diharapkan dapat dilakukan sejak tahap awal respons bencana.
Direktur Dukungan Infrastruktur Darurat BNPB Andria Yuferryzal menambahkan bahwa setelah dilakukan kaji cepat, kepala daerah yang terdampak bencana direkomendasikan untuk melibatkan unsur pentaheliks dalam rapat koordinasi awal.
"Langkah ini bertujuan untuk menentukan prioritas penanganan darurat serta mengidentifikasi sumber daya yang dibutuhkan," ujar Andria.
BNPB juga meyakini bahwa sumber daya di luar pemerintah, seperti organisasi non-pemerintah dan sektor usaha, memiliki potensi besar untuk mendukung penanggulangan bencana. Oleh karena itu, berbagai pihak diharapkan dapat bersinergi di bawah satu komando yang dikoordinasikan melalui pos komando (posko) yang diaktivasi oleh pemerintah daerah.
Hal ini sesuai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang mengatur bahwa komando dalam penanganan darurat diperlukan untuk memastikan koordinasi antar-lembaga berjalan efektif.
Baca juga: BNPB gelar operasi modifikasi cuaca gabungan di Jakarta-Jabar
Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2025