APSyFI usul penetapan tarif BMAD industri tekstil minimal 20 persen

3 months ago 20

Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengusulkan penetapan tarif bea masuk antidumping (BMAD) minimal 20 persen terhadap produk benang filamen impor, terutama dari China guna memperkuat daya saing industri tekstil nasional.

"Hal ini guna mengatasi dampak serius dari praktik dumping yang telah menggerus daya saing dan kapasitas produksi industri tekstil nasional dari hulu hingga hilir," kata Ketua APSyFI Redma Gita Wirawasta dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

Menurut APSyFI, praktik dumping produsen luar menciptakan distorsi harga domestik, sehingga BMAD 20 persen dinilai ideal untuk memulihkan industri hulu tanpa membebani sektor hilir secara berlebihan.

"Harga normal itu ada di kisaran 20 persen di atas harga dumping. Kalau lebih tinggi dari itu, memang produsen hulu punya ruang untuk margin lebih besar, tapi berisiko membebani industri hilir. Kita perlu titik tengah yang sehat dan berkelanjutan," ujar Redma.

Dirinya turut menyampaikan rekomendasi awal dari Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) menyarankan tarif BMAD yang bervariasi, dengan batas atas mencapai 42,3 persen. Namun APSyFI menilai sebagian tarif tersebut perlu diturunkan demi menciptakan keseimbangan antara sektor hulu dan hilir.

"Setelah diskusi dan evaluasi dengan mempertimbangkan dampak ke hilir, kami usulkan rekomendasi APSyFI adalah BMAD rata-rata 20 persen," ungkap Redma.

Baca juga: Apsyfi minta pemerintah memilah produk yang dilonggarkan impor

Praktik dumping benang filamen, menurut Redma, memicu efek domino pada industri tekstil, menurunkan permintaan benang pintal akibat pasar domestik terserap produk impor yang merugikan produsen dalam negeri.

"Benang filamen impor ini menyerap pasar benang pintal dalam negeri. Akibatnya, industri pemintalan ikut terpukul, dan karena mereka tidak menyerap bahan baku, industri polimer juga ikut kena dampaknya," jelas Redma.

Dia mencontohkan sejumlah perusahaan besar seperti Polichem, Polifyn, dan APF menutup lini produksi polimer akibat permintaan anjlok, menyisakan empat produsen aktif yang kini beroperasi dalam kondisi sangat terbatas.

APSyFI berharap dengan penetapan BMAD 20 persen, industri tekstil dari sektor hulu seperti produksi polimer, benang filamen, dan benang pintal, hingga sektor hilir seperti kain dan produk jadi, bisa kembali bangkit dan bersaing secara sehat di pasar domestik.

"Bukan hanya untuk menyelamatkan benang filamen, tapi juga pemintalan dan polimer. Ini soal keberlangsungan industri nasional," tegas Redma.

Redma juga menyoroti pentingnya perlindungan sektor hulu seperti purified terephthalic acid (PTA), karena jika bahan baku utama serat sintetis terus masuk dengan harga dumping, maka seluruh rantai industri tekstil tetap terancam.

Baca juga: Asosiasi sebut BMAD bukan penghambat pasar, melainkan persaingan sehat

Senada, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menilai penetapan tarif BMAD minimal 20 persen merupakan langkah logis dan relevan menghadapi kerusakan struktural industri akibat praktik dumping.

"Angka 20 persen itu secara kasar masih masuk akal, dan itu pun batas minimal. Bahkan bisa saja lebih tinggi, tergantung pada tingkat injury yang dialami industri kita," ujar Faisal.

Faisal menegaskan BMAD 20 persen belum cukup menutup disparitas harga, namun kebijakan antidumping penting untuk menjaga industri nasional tetap hidup di tengah persaingan global yang semakin tidak sehat.

"Kalau harga impor dari China bisa setengahnya harga lokal, maka dengan BMAD 20 persen pun, produk dalam negeri tetap akan terlihat lebih mahal. Ini yang perlu dihitung serius oleh," kata Faisal.

Baca juga: APSYFI ungkap data baru pabrik tekstil terdampak impor ilegal

Baca juga: Kado Awal Tahun, Pemerintah Perpanjang Pengenaan BMAD atas Impor HRC Asal 7 Negara

Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |