Aprindo sebut penyeragaman kemasan rokok sulitkan pengusaha-konsumen

1 week ago 17
Pemerintah seharusnya mendorong kemudahan berusaha, bukan menambah beban dengan regulasi yang tidak berpihak pada dunia usaha.

Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Solihin menyatakan bahwa peraturan untuk menyeragamkan kemasan rokok menambah beban para pelaku usaha dan menyulitkan konsumen untuk membedakan antara rokok legal dan ilegal.

Ia berharap pemerintah mempertimbangkan kondisi ekonomi saat ini dan tidak memberlakukan kebijakan yang dapat membebani pelaku usaha.

“Pemerintah seharusnya mendorong kemudahan berusaha, bukan menambah beban dengan regulasi yang tidak berpihak pada dunia usaha,” kata Solihin, di Jakarta, Kamis.

Ia juga menyoroti potensi semakin maraknya rokok ilegal, karena kemasan produk yang seragam akan menyulitkan konsumen dalam mengidentifikasi merek rokok legal yang biasa mereka beli.

“Rokok ilegal yang sudah marak saja belum sepenuhnya bisa ditindak, apalagi dengan tambahan kebijakan seragam kemasan,” ujarnya pula.

Selain itu, ia menyatakan bahwa pengawasan terhadap implementasi aturan tersebut juga menimbulkan tantangan besar, terutama di tingkat pengecer, khususnya warung kecil dan toko kelontong.

“Kalau di supermarket mungkin masih bisa dikontrol, tapi tidak demikian dengan toko-toko kecil,” ujar Solihin.

Senada dengan Solihin, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi juga mengatakan bahwa usulan penyeragaman kemasan rokok berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal di pasaran.

“Ini bisa menimbulkan kebingungan di masyarakat dan membuka celah makin banyaknya rokok ilegal di pasaran,” ujarnya pula.

Dia juga menyoroti lemahnya penindakan terhadap rokok ilegal, yang selama ini hanya menyasar level distribusi seperti pengecer dan sopir pengangkut, bukan sampai ke produsen atau pabrik.

“Kami belum pernah mendengar adanya tindakan tegas terhadap mesin produksi rokok ilegal,” kata Benny Wachjudi.

Gaprindo mencatat bahwa pendapatan cukai rokok mencapai sekitar Rp216,9 triliun pada 2024, mendekati target Rp230 triliun, yang sebagian besar dipengaruhi oleh daya beli masyarakat.

Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Edward Omar Sharif Hiariej menyoroti peredaran rokok ilegal yang kian marak dalam sesi wawancara di Jakarta, Senin (14/4).

Ia mengatakan bahwa rokok ilegal bersifat berbahaya dan melanggar berbagai aturan, di antaranya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hingga aturan perdagangan yang berkaitan dengan pelanggaran merek.

“(Rokok ilegal) harus ditertibkan. Karena tidak hanya merusak perekonomian, ada soal merek, tapi juga sifat bahayanya barang itu. Kalau rokok (ilegal) itu dijual, satu perbuatan dia terkena beberapa pasal," ujarnya lagi.

Melihat wacana kebijakan penyeragaman bungkus rokok dianggap akan memperparah peredaran rokok ilegal dan kian menekan industri rokok legal, ia menyatakan perlunya pendekatan yang berimbang antara aspek kesehatan dan kepentingan ekonomi.

“Solusinya harus bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak, antara manfaat ekonomi dan keadilan hukum,” ujar Edward Omar Sharif Hiariej.

Pembahasan mengenai aturan baru soal kemasan rokok tengah mencuat seiring dengan penyusunan Peraturan Menteri Kesehatan yang menjadi turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Kementerian Kesehatan berencana menyamakan seluruh warna dan kemasan produk tembakau dan rokok elektronik. Gagasan tersebut mendapatkan tentangan dari berbagai pihak, baik lembaga pemerintahan, industri, maupun konsumen.

Baca juga: Anggota DPR: Rencana penyeragaman kemasan rokok perlu ditinjau kembali

Baca juga: Kemasan polos terstandar tak terbukti sebabkan peredaran rokok ilegal

Pewarta: Uyu Septiyati Liman
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |