Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis bedah lulusan Universitas Indonesia dr. Maelissa Pramaningasin, Sp.B, Subsp.Onk. (K) menjelaskan alasan temuan kasus kanker payudara stadium lanjut di Indonesia masih terbilang tinggi.
“Ini diketahui sudah dari tahun 1992 bahwa yang datang (ke rumah sakit) itu stadium lanjut, tapi kemudian pada tahun 2020 begitu lagi, ini jadi masalahnya dimana?” kata Maelissa dalam diskusi daring di Jakarta, Jumat.
Maelissa mengatakan pada 1992 jumlah pasien yang datang ke rumah sakit yang sudah terkena kanker payudara stadium akhir ada sebesar 60-70 persen. Angkanya naik signifikan di tahun 2020 menjadi 68-73 persen.
Sementara data Globocan menyatakan bahwa kanker payudara merupakan jenis kanker dengan jumlah kasus tertinggi di Indonesia, dengan lebih dari 68.858 kasus baru dan 22.430 kematian tercatat hanya di tahun 2020. Angka tersebut diprediksi meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut Maelissa, penyebab utama dari sulitnya menekan angka tersebut adalah banyak beredarnya informasi bohong soal pengobatan kanker payudara, dan tingginya ketakutan masyarakat jika payudaranya akan hilang setelah mendapatkan pengobatan.
Baca juga: SADARI sebagai langkah awal deteksi dini kanker payudara
Masyarakat juga masih kebingungan untuk datang ke dokter spesialis terkait, jika menemukan adanya benjolan atau kelainan pada payudaranya.
Kalaupun sudah menemui dokter spesialis, ia menyampaikan kebanyakan pasien hanya berhenti berkonsultasi sampai di dokter bedah saja. Sehingga terjadi penundaan atau sistem system delay.
Menurutnya, sebenarnya kanker payudara dapat dicegah sejak dini melalui adanya kampanye Kementerian Kesehatan yakni Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) dan Pemeriksaan Payudara Klinis (SADANIS) yang dapat mendeteksi dini keberadaan kanker tersebut hingga 85 persen.
Konsultasi yang dilakukan bersama tenaga kesehatan untuk mendapatkan layanan mammografi dan USG juga disebutnya dapat mendeteksi sampai dengan 90 persen.
Dengan semakin majunya teknologi, ia menyampaikan bahwa kanker payudara dapat dideteksi sedini mungkin. Beberapa cara lain yang dapat membantu penderita yakni dengan biopsi dapat mendeteksi sampai 91 persen. Jika pasien mendapatkan ketiga tata laksana maka tingkat keberhasilan deteksi dapat mencapai 99,5 persen.
Baca juga: Pengobatan inovatif pasien kanker makin beragam
Baca juga: Teknologi robotik permudah rekonstruksi payudara pada operasi kanker
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Indriani
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.