Surabaya (ANTARA) - Akademisi Universitas Tarumanagara (Untar) Jakarta DR Hery Firmansyah SH.,M.Hum.,MPA CTL mengharapkan perubahan pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tetap relevan.
"Kita tak ingin pasal yang dibuat hanya untuk mengakomodasi kepentingan elite yang kemudian akan menjadi dosa jariyah setelahnya," ujar Hery dalam keterangan tertulis yang diterima di Surabaya, Minggu.
Ia menilai salah satu isu yang seksi untuk dibahas adalah berkaitan dengan sentral penegakan hukum yaitu masalah kewenangan penyidikan serta batasan yang diatur di dalamnya.
Ini mengungkapkan, batasan ini kemudian membedakan fungsi dan kerja antar instansi penegak hukum. Jika dicermati hal tersebut sudah diatur secara lugas oleh KUHAP yang masih berlaku dan saat ini sebagai norma hukum positif.
Baca juga: Pakar: Dominus litis berpotensi ganggu prinsip "checks and balances"
"Ini yang menurut saya pribadi, tentunya sudah dipikirkan secara arif dan bijaksana dengan matang oleh pembentuk UU saat itu. Dengan alasan agar saling tidak terjadi overlapping antar tugas penegak hukum dan menghadirkan profesionalitas," ungkapnya.
Ia menambahkan hal ini membuat suatu iklim penegakan hukum yang menjalankan mekanisme check and balances. Akhirnya bermuara pada kemunculan masalah kesetaraan dalam sistem peradilan pidana yang dijalankan.
Hery menuturkan secara pribadi sepakat dengan pasal KUHAP yang diadopsi saat ini. Asas diferensiasi fungsional yang mengatur secara rapi dan sangat profesional penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan pidana yang sifatnya terpadu.
Ia menganggap bahwa kerja masing-masing penegak hukum ini sesuai dengan fungsinya, bahwa kewenangan penyidikan ada di kepolisian, kewenangan penuntutan di kejaksaan dan kewenangan memeriksa, mengadili serta memutus perkara ada di kewenangan ranah kehakiman.
"Semuanya bermuara pada satu tujuan yaitu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia," ujarnya.
Baca juga: YLBHI: Revisi KUHAP-KUHP jalan reformasi kepolisian
Ia belum melihat perlu adanya kewenangan tambahan pada salah satu aparat penegak hukum (APH), karena akan terjadi persoalan baru di ranah praktiknya. Ini akan ada dualisme pandangan yang akan menimbulkan ego sektoral.
Ini akan semakin memperuncing dan merugikan penegakan hukum itu sendiri. Akhirnya, hal ini akan menguntungkan bagi pelaku kejahatan.
"Tidak ada kepastian hukum membuat pelaku kejahatan semakin leluasa menjalankan aksi kejahatannya," ujarnya.
Dia memandang KUHAP memang sudah 44 tahun digunakan dan perlu adanya perubahan.
"Namun, revisi KUHAP tentu tak boleh dilakukan secara serampangan dan emosional," katanya.
Pewarta: Willi Irawan
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025