Jakarta (ANTARA) - Ahli dalam sidang kasus dugaan suap hakim atas "vonis bebas" terpidana Ronald Tannur, Hibnu Nugroho menyebutkan hakim tidak boleh menemui pihak berperkara saat menangani suatu kasus
Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto tersebut mengatakan saat menjadi hakim, seseorang akan kehilangan masa sosialnya yang membuat hakim tidak boleh bertemu orang lain, apalagi bertemu penasihat hukum.
"Jadi ada sisi sosial yang hilang, sehingga memang lebih baik kalau gajinya tinggi karena ketemu orang tidak boleh, makan pun kadang-kadang tidak boleh. Saking hati-hatinya," ujar Hibnu saat memberikan keterangan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa.
Maka dari itu apabila terdapat ajakan pertemuan, dia menuturkan seorang hakim idealnya menolak. Apalagi jika orang yang mengajak bertemu tersebut berhubungan dengan suatu perkara karena akan menjadi masalah.
Dengan demikian, Hibnu menilai jika terdapat rangkaian perbuatan yang dilakukan penasihat hukum seorang tersangka untuk menemui dan memberikan hakim yang mengatasi perkara tersebut sejumlah uang, maka perbuatan itu menunjukkan sebuah proses untuk mengubah putusan.
Apalagi, sambung dia, apabila uang yang diberikan penasihat hukum kepada hakim tersebut dilakukan sebelum putusan dijatuhkan.
"Kalau sebelum itu sudah masuk kualifikasi suap tadi. Jadi menurut kami itu sempurna, apa yang dilakukan dari ilustrasi kasus yang bersangkutan tadi," tuturnya.
Adapun Hibnu hadir sebagai ahli dalam sidang kasus dugaan suap atas pemberian vonis bebas kepada terpidana pembunuhan, Ronald Tannur pada 2024 dan gratifikasi, yang menyeret tiga orang hakim nonaktif Pengadilan Negeri Surabaya.
Tiga orang hakim nonaktif itu, yakni Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, serta Mangapul. Ketiganya didakwa menerima suap berupa hadiah atau janji sebesar Rp4,67 miliar.
Secara perinci, suap yang diduga diterima oleh tiga hakim tersebut meliputi sebanyak Rp1 miliar dan 308 ribu dolar Singapura atau Rp3,67 miliar (kurs Rp11.900).
Selain suap, ketiganya juga diduga menerima gratifikasi berupa uang dalam bentuk rupiah dan berbagai mata uang asing, yakni dolar Singapura, ringgit Malaysia, yen Jepang, euro, serta riyal Saudi.
Dengan demikian, perbuatan para terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 Ayat (2) atau Pasal 5 Ayat (2) dan Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025