Agar strategi geoekonomi nasional tak jadi "senjata makan tuan"

19 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Tiga puluh lima tahun setelah Edward N Luttwak mencetuskan istilah geoekonomi, yakni saat logika konflik militer bertemu dengan tata bahasa perdagangan dunia, kita kini justru semakin sering menyaksikan penggunaan instrumen ekonomi untuk mencapai tujuan geopolitik.

Negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China telah mengganti sebagian besar strategi konfrontasi militer mereka dengan instrumen ekonomi seperti tarif, kontrol ekspor, dan subsidi industri.

Namun efektivitas strategi ini dipertanyakan. Dalam banyak kasus, strategi geoekonomi bukan hanya tidak efektif, melainkan juga dapat menjadi senjata makan tuan. Indonesia, sebagai negara dengan posisi strategis di Indo-Pasifik dan anggota G20, perlu mencermati fenomena ini secara kritis demi menyusun strategi yang lebih cerdas di masa depan.

Geoekonomi pada dasarnya mengacu pada penggunaan instrumen ekonomi seperti perdagangan, investasi, dan keuangan untuk mencapai tujuan politik dan strategis suatu negara. Luttwak menjelaskan bahwa berbeda dengan geopolitik klasik yang berlandaskan kekuatan militer, geoekonomi menggunakan instrumen damai untuk tujuan persaingan yang tidak kalah tajam.

Namun, terdapat paradoks mendalam: jika geopolitik bersifat zero-sum (satu pihak untung, pihak lain rugi), maka perdagangan internasional seringkali bersifat win-win.

Baca juga: BI: Fragmentasi geopolitik dan geoekonomi ubah pengambilan kebijakan

Tarif, misalnya, digunakan oleh pemerintahan Donald Trump sebagai alat untuk memaksa China tunduk dalam perang dagang. Namun, simulasi dampak berbagai skenario tarif selama perang dagang menunjukkan bahwa Amerika Serikat justru menderita kerugian lebih besar dibandingkan China. Ketika Amerika mengenakan tarif tinggi, harga barang impor naik, membebani konsumen domestik dan memperlemah daya saing sektor manufaktur AS.

Di tengah situasi global yang dinamis, Indonesia justru punya posisi sangat strategis. Negara kita kaya akan sumber daya alam termasuk mineral yang banyak dibutuhkan di era pesatnya industri baterai dan kendaraan listrik.

Indonesia memiliki posisi strategis dalam jalur perdagangan global, terletak di antara Samudra Hindia dan Pasifik, serta berada di jantung jalur maritim Belt and Road Initiative (BRI) China.

Baca juga: Sri Mulyani sebut fragmentasi geoekonomi munculkan berbagai tantangan

Namun hingga kini, Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan strategi geoekonomi secara aktif. Bahkan, dalam beberapa hal, Indonesia masih menjadi “medan laga” bagi kekuatan geoekonomi asing, alih-alih menjadi pemain aktif.

Sebagai contoh, data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2023, sekitar 39 persen dari total nilai ekspor Indonesia senilai 258 miliar dolar AS masih bergantung pada produk berbasis komoditas primer seperti batu bara, minyak sawit, dan nikel.

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |