Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati bertujuan memberikan jaminan perlindungan bagi terpidana mati berdasarkan pada prinsip hak asasi manusia (HAM).
"Prinsip HAM ini berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia," ujar pria yang akrab disapa Eddy tersebut pada acara Uji Publik RUU tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu.
Eddy menuturkan RUU tersebut menggantikan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.
Ia mengungkapkan RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati akan masuk prioritas tahun 2025 melalui Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Nomor 23/DPR RI/I/2025-2026 tentang Perubahan Prolegnas RUU Tahun 2025-2029 dan Perubahan Kedua Prolegnas Prioritas Tahun 2025.
"Artinya hari ini setelah kami membahas dan mendapatkan paraf dari kementerian/lembaga, akan segera kami ajukan ke Presiden bersama dengan Undang-Undang Penyesuaian Pidana," ucapnya.
Baca juga: Pemerintah siapkan RUU Pelaksanaan Hukuman Mati
Wamenkum juga menjelaskan beberapa perbandingan dari Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 dengan RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, seperti kebaruan mengenai hak, kewajiban, dan persyaratan terpidana mati.
Untuk hak narapidana, jelas Eddy, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, yaitu bebas dari penggunaan alat pengekangan berlebihan, mendapatkan fasilitas hunian layak, menjalin komunikasi dengan keluarga dan/atau kerabat usai penetapan pelaksanaan pidana mati ditetapkan, serta mengajukan tempat pelaksanaan pidana mati dan/atau mengajukan permintaan lokasi dan tata cara penguburan.
Sementara untuk syarat pelaksanaan pidana mati, yaitu berisi selama masa percobaan terpidana mati tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki atau telah memasuki masa tunggu.
"Selain itu, syarat pelaksanaan pidana mati meliputi telah mengajukan grasi dan grasinya ditolak serta berada dalam kondisi sehat," ujarnya.
Eddy turut menyampaikan usulan pertimbangan pilihan dalam pelaksanaan pidana mati selain tembak mati, misalnya melalui eksekusi dengan injeksi atau memakai kursi listrik.
Menurut ia, secara ilmiah bisa dipertimbangkan cara yang mendatangkan kematian paling cepat, baik dengan kursi listrik, tembak mati, ataupun injeksi.
"Kemarin sempat tercetus kenapa tidak dikasih pilihan, ini yang bisa kami diskusikan," tambah Eddy.
Baca juga: Pakar sebut pelaksanaan hukuman mati perlu diatur khusus dalam UU
Baca juga: Wamenkumham sebut hukuman mati merupakan 'special punishment'
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.