Utusan Abbas: Palestina butuh dukungan, bukan pasukan internasional

6 hours ago 3

Moskow (ANTARA) - Palestina tidak mengharapkan pasukan stabilisasi internasional mengendalikan Jalur Gaza, kata Mohammad Shtayyeh, utusan khusus untuk Presiden Palestina Mahmoud Abbas, pada Rabu.

Isu tentang keberadaan pasukan stabilisasi internasional di Gaza, yang termasuk dalam rencana Presiden AS Donald Trump untuk perdamaian Gaza, masih dalam pembahasan, kata Shtayyeh kepada wartawan di Jenewa.

Namun demikian, ia mengakui bahwa Palestina membutuhkan dukungan internasional untuk mengelola situasi tersebut.

Pemerintah Palestina juga tidak mengharapkan peran apa pun dari gerakan Palestina Hamas di masa depan Gaza, dan Hamas menerimanya, kata Shtayyeh.

Kehadiran polisi Hamas di jalanan Gaza diharapkan hanya selama masa transisi, karena ada 19 ribu polisi Palestina di Jalur Gaza, dengan 10 ribu lainnya menjalani pelatihan di Mesir, imbuhnya.

Shtayyeh mengatakan bahwa Palestina juga menyerukan konferensi internasional untuk membahas pengembangan rencana mengakhiri pendudukan Israel. Dia menambahkan bahwa meski konferensi Sharm El Sheikh merupakan langkah penting ke arah yang benar, konferensi tersebut tidak memberikan jawaban yang lengkap atas penderitaan rakyat Palestina.

Israel, kata dia, harus bertanggung jawab atas kehancuran di Gaza.

Meski Palestina senang dengan gencatan senjata dan berharap gencatan senjata tersebut bersifat jangka panjang, pihak berwenang memahami bahwa situasi masih belum stabil, kata pejabat itu, seraya menambahkan bahwa jumlah bantuan kemanusiaan yang diperlukan belum dikirimkan ke Gaza.

Pos pemeriksaan Rafah baru dibuka Rabu pagi, dan Palestina berharap transisi dari fase 1 ke fase 2 dari rencana perdamaian Gaza akan berarti bahwa semua pos pemeriksaan akan dibuka untuk pengiriman makanan, kata Shtayyeh.

Baca juga: Israel tunda pembukaan pintu perlintasan Rafah ke Jalur Gaza

Sebelumnya pada Selasa (14/10), Program Pembangunan PBB mengatakan bahwa menurut perkiraan Bank Dunia, rekonstruksi Gaza akan membutuhkan biaya sedikitnya 70 miliar dolar AS (sekitar Rp1,16 kuadriliun).

Pada Senin (13/10), Trump, Presiden Mesir Abdel Fattah Sisi, Emir Qatar Tamim bin Hamad Al Thani dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menandatangani dokumen komprehensif tentang gencatan senjata Gaza.

Masih pada hari yang sama, Hamas membebaskan 20 sandera yang masih hidup yang ditahan di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023, sebagai bagian dari perjanjian dengan Israel.

Kantor Media Tahanan Palestina mengonfirmasi bahwa Israel telah membebaskan 1.718 tahanan Palestina yang ditahan di Gaza dan 250 narapidana lainnya yang menjalani hukuman penjara jangka panjang.

Rencana perdamaian Gaza yang terdiri dari 20 poin dari Trump diumumkan pada 29 September. Rencana tersebut menyerukan gencatan senjata segera, dengan syarat pembebasan sandera dalam waktu 72 jam.

Dokumen tersebut juga mengusulkan agar Hamas atau faksi bersenjata Palestina lainnya tidak memiliki peran di dalam pemerintahan Jalur Gaza dan kendali atas daerah kantong itu harus dialihkan kepada komite teknokratis yang diawasi oleh badan internasional yang dipimpin Trump.

Sumber: Sputnik/RIA Novosti-OANA

Baca juga: Prabowo dan babak baru perdamaian Gaza

​​​​​​​Baca juga: ASEAN desak semua pihak patuhi kesepakatan damai Gaza

Baca juga: Erdogan: Gencatan senjata Gaza bukanlah solusi akhir bagi Palestina

Penerjemah: Katriana
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |