Bandung (ANTARA) - Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad) memperketat proses seleksi calon peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), khususnya bidang anestesi untuk mencegah potensi penyimpangan seksual maupun gangguan kejiwaan.
Dekan FK Unpad Yudi Mulyana Hidayat mengatakan kebijakan ini diterapkan setelah mencuatnya kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang dokter residen anestesi terhadap pasien dan keluarganya di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung pada Maret 2025 lalu.
“Nanti kami melibatkan psikolog, psikiater, dan sebagainya. Jadi proses psikologis dulu, kalau sudah mengarah ke klinik, baru ke psikiater,” kata Yudi di Bandung, Kamis.
Yudi mengatakan proses rekrutmen dilakukan melalui beberapa pemeriksaan yang mencakup aspek psikologis dan kesehatan mental calon peserta sebelum dinyatakan lolos seleksi.
Baca juga: Kemenkes aktifkan kembali PPDS Anestesi di RSHS Bandung
Ia menekankan pentingnya deteksi dini terhadap gangguan jiwa atau penyimpangan perilaku seksual guna menghindari kejadian yang membahayakan pasien.
“Kalau dalam tes ditemukan penyimpangan seksual atau gangguan jiwa berat, ya harus ditolak. Ini bukan soal pribadi, tetapi menyangkut keselamatan masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mengaktifkan kembali Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Padjadjaran (Unpad) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
Direktur Jenderal Kesehatan Lanjutan Kemenkes Azhar Jaya mengatakan keputusan pembekuan bersifat sementara guna memberi waktu bagi pihak RSHS dan Fakultas Kedokteran Unpad untuk melakukan evaluasi dan perbaikan menyeluruh.
Baca juga: Kemenkes wajibkan peserta PPDS jalani tes kesehatan mental
“Kemenkes dan Kemendiktisaintek sepakat untuk memulai kembali program residensi Prodi Anestesi di RSHS. Kemenkes tidak pernah menghentikan program studi, yang dihentikan sementara adalah kegiatan residensinya,” ujar Azhar.
Pewarta: Rubby Jovan Primananda
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































