Jakarta (ANTARA) - Penasehat hukum Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, Todung Mulya Lubis menduga adanya pelanggaran hukum oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penetapan tersangka kliennya.
"Dugaan itu sesuai pada fakta persidangan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (7/2), yang menghadirkan dua saksi, yakni mantan narapidana kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku, Agustiani Tio Fridelina dan staf Hasto, Kusnadi," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu.
Todung menjelaskan dalam pemeriksaan terhadap kedua saksi tersebut, terdapat tekanan agar para saksi menyebut nama Hasto. Bahkan, lanjut dia, Agustiani mengatakan sempat dijanjikan sejumlah uang sebelum pemeriksaan berjalan agar nama Hasto disebut terlibat dalam perkara ini.
“Dengan demikian, jawaban KPK dan fakta persidangan kemarin semakin terang benderang terungkap sejumlah pelanggaran hukum yang dilakukan KPK dalam menetapkan status tersangka Hasto,” kata Todung.
Baca juga: Ahli hukum sebut pimpinan KPK tak berwenang tetapkan tersangka
Dirinya juga berpendapat adanya tindakan "daur ulang" bukti lama yang sudah tidak relevan dan membangun cerita berdasarkan imajinasi bukan berdasarkan bukti dalam kasus itu.
Ia pun mencontohkan tindakan "daur ulang" yang dilakukan oleh pihak KPK, yakni meneruskan cerita dengan menguraikan seolah-olah Hasto mempersilakan dan menyanggupi untuk menalangi dana operasional ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan rangkaian cerita lainnya.
Cerita dan konstruksi perkara versi KPK tersebut, diungkapkan ia, telah diuji di persidangan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan hasilnya telah dituangkan pada putusan dengan terdakwa Wahyu Setiawan, Agustiani Tio, dan Saeful Bahri.
“Menjadi pertanyaan, apa maksud KPK kembali menguraikan cerita lama yang sudah tidak terbukti di pengadilan dalam proses praperadilan ini? Bukti yang digunakan pun adalah bukti-bukti lama di bulan Januari 2020,” ucap dia.
Terkait dugaan membangun cerita berdasarkan imajinasi dan bukan berdasarkan bukti, lanjut Todung, tuduhan dibangun seolah-olah sopir Saeful Bahri dan advokat Donny Tri Istiqomah melapor kepada Hasto terkait kesepakatan dengan tersangka Harun Masiku tentang dana operasional ke KPU dan hal tersebut dipersilakan oleh Hasto.
Baca juga: Hasto Kristiyanto tak pernah perintahkan staf tenggelamkan ponsel
Selain itu, ia menambahkan bahwa KPK menyebutkan Hasto memerintahkan Saeful dan Donny di Kantor DPP PDIP untuk mengawal surat DPP PDIP yang keluar berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA).
Menurut dia, perintah tersebut bukan perbuatan melawan hukum, melainkan tugas Hasto sebagai Sekjen untuk memastikan surat DPP PDIP yang dibuat berdasarkan Putusan MA agar ditindaklanjuti sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dengan demikian, sambung dia, KPK seolah-olah melakukan framing/pembingkaian bahwa perintah itu merupakan bagian dari rangkaian suap yang dilakukan untuk meloloskan Harun Masiku.
“Padahal justru sesungguhnya klien kami sebagai petugas partai sedang memperjuangkan hak dan kewenangan Partai yang dijamin oleh Putusan MA dan bahkan ditegaskan oleh Fatwa MA,” ungkap Todung menegaskan.
Dikatakan Todung, sejumlah persoalan hukum tersebut bisa merusak tatanan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Dia menegaskan bahwa dukungan dari semua pihak untuk upaya pemberantasan korupsi tidak boleh dirusak dan dinodai dengan berbagai praktik terlarang dan tidak beretika dalam penegakan hukum.
"Terutama jangan sampai penegakan hukum dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis,” tuturnya.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025